Surat Bapak, Catatan Ibu, dan Kebiasaanku Menulis

Aku merasa beruntung lahir sebagai generasi Z. Karena, dalam masa hidupku yang singkat, aku bertemu berbagai jenis teknologi yang terus berubah seiring perkembangan zaman.

Saat pertama memoriku terbentuk, samar-samar aku mengingat di rumah ada mesin ketik. Beberapa tahun kemudian aku pertama kali mengenal ponsel dan belajar komputer saat Mbak Banun (adik kandung Ibu) mengerjakan skripsi. Kelas 3 SD, aku mengenal USB flashdisk; kelas 5 SD aku punya akun Facebook dan mengenal warnet; nggak lama kemudian mengenal Speedy—nenek moyangnya IndiHome.

Tapi, tulisan ini bukan tentang perkembangan teknologi informasi.



Surat Bapak dari Jogja

Aku sempat mengalami masa-masa di mana surat menjadi alat komunikasi andalan. Bapak sedang lanjut kuliah S2 di Jogja, mengirim surat untuk Ibu di rumah. Aku dan mbak Nadiya juga ikut membaca suratnya. Ketika Pak Pos datang aku dan mbak Nadiya selalu antusias antre membaca surat setelah Ibu selesai.

Kalau kata mbak Nadiya lewat tulisan yang satu ini, selain surat yang diketik ada surat tulisan tangan. Aku dan mbak Nadiya sama-sama nggak tahu apa isinya, mungkin itu semacam surat cinta bagi Bapak dan Ibu yang proses berjodohnya langsung menikah, nggak merasakan berpacaran hehehe.

Tapi seingatku itu hanya berjalan lebih-kurang setahun. Tahun-tahun setelahnya Bapak-Ibu lebih sering berkomunikasi lewat telepon di wartel (warung telekomunikasi). Lalu berganti tahun, Bapak beli ponsel Siemens. Lalu Ibu juga beli ponsel Nokia 1100. Nomor ponsel pertama bapak 0815-402-8405 sementara nomor ponsel pertama Ibu 0815-408-97480. Nomor Bapak masih 11 digit, sementara nomor Ibu yang lebih baru 12 digit.

(Wah ternyata aku masih ingat hahaha) Aku tulis saja nomornya, karena sudah nggak dipakai Bapak dan Ibu.

Kembali ke surat, itu salah satu adalah bacaanku di masa kecil. Tentunya selain majalah Bobo dan Ino, sedikit komik, serta koran. Iya, koran, tamu Bapak dan Ibu yang datang ke rumah saat itu sering heran karena anak berusia 5 tahun sudah bisa baca koran.

Kalau dipikir-pikir, pengalaman ini paling awal aku bertemu tulisan dan senang membaca. Sampai sekarang akhirnya makin senang membaca dan menulis. Meski aku baru pertama membaca serius kelas 6 SD, saat itu aku menghabiskan novel pertamaku, Laskar Pelangi. Novel selanjutnya baru aku baca saat MTs.

Sementara soal menulis, baru aku pelajari secara serius kelas 3 MTs saat aku membuat situs blogspot gratisan. Sampai saat ini, aku belum mengeluarkan sepeserpun untuk domain blog ini, karena sejak 2014 domain blog ini dibiayai oleh Kak Agung Purwoto sampai sekarang. Terima kasih Kak Agung.

 

Kenapa Membaca?

Aku ingat kebiasaanku membaca dimulai dengan membolak-balik halaman bergambar. Di buku apapun. Saat kecil dulu aku senang melihat gambar sembari membaca keterangan.

Lama-kelamaan aku menikmati aktivitas membaca. Sampai saat ini, membaca jadi teman perjalanan, pemadam kebosanan, sampai pengantar tidur. Baru-baru ini pun, membaca kembali berperan penting buat diriku, menjadi pembuka jalan ketika aku merasa buntu menggarap revisi proposal tesis.

Membaca juga secara ajaib bikin aku merasa akrab dengan penulis. Misalnya, beberapa tahun belakangan teman-teman terdekatku cukup senang menulis. Entah lewat caption, twit, sampai halaman Tumblr mereka. Aku jadi merasa sedikit lebih memahami mereka. Karena umumnya, apa yang mereka tuliskan adalah kata-kata yang nggak bisa diungkapkan dengan tulisan.

Beberapa tahun lalu saat masih redaktur di IPM.or.id, Milenialis, dan IBTimes, aku juga merasa akrab dengan penulis walaupun belum pernah bertemu. Ini terjadi karena aku menyunting tulisan mereka. Proses penyuntingan membuatku merasa berkenalan dengan isi pikiran para penulis, sehingga ketika bertemu untuk pertama kalinya akan sangat membantu untuk langsung akrab. Sangat membantu untuk memulai obrolan, buat aku yang nggak terbuka-terbuka amat dengan orang baru.

Selain itu, aku juga menaruh hormat tersendiri pada para penulis. Cak Mahfud Ikhwan misalnya, aku pernah mengedit tulisan pendek karyanya dan buku Kambing dan Hujan. Ini membuatku makin terkagum dan berbinar-binar ketika berkesempatan jumpa beliau di Ada Sarang beberapa waktu lalu.

Aku juga membaca beberapa novel Kuntowijoyo, seperti Wasripin dan Satinah, Pasar, dan Khotbah di Atas Bukit. Begitu pula dengan Pram saat aku membaca Tetralogi Buru, Gabriel Garcia Marquez saat aku membaca Chronicle of a Death Foretold, Leila Chudori ketika membaca Laut Bercerita, dan Coelho ketika aku membaca The Alchemist. Aku jadi merasa mereka hidup dan sangat akrab denganku, setidaknya dalam pikiranku sendiri.

 

Kenapa Menulis?

Membaca dan menulis bagaikan saudara kembar. Nggak afdhol kalau hanya berkenalan dengan salah satunya. Bagiku pribadi, kadang menulis jadi hiburan. Menulis juga jadi upayaku untuk mengasah pikiran. Karena aku takut cepat pikun, dan beberapa penelitian bilang membaca dan menulis bisa membantu mengurangi risiko demensia di masa tua.

Saat menulis, kadang aku merasa menggali ingatan. Contohnya di awal tulisan ini ketika membahas masa kecil, pikiranku melayang saat sedang nakal-nakalnya mencoba banyak hal.

Salah satu ingatan yang nggak sengaja tergali adalah ketika pertama kalinya aku penasaran dengan komputer dan asal mengeklik menu-menu Microsoft Word di komputer Mbak Banun, lalu eror, lalu aku panik, dan kutinggal. Lalu aku lega sekaligus heran ketika Mbak Banun bisa membuka Ms Word seakan nggak terjadi apa-apa.

Ada juga pengalaman dengan Ibu yang cukup unik. Ibuku senang mencatat, salah satu catatan ibu yang paling awal aku baca adalah tulisan tangan tentang perkembangan anak-anak. Misalnya aku jadi tahu bahwa aku pernah di-opname. Umur 6 bulan, karena muntaber. Tentu saja aku nggak ingat, tapi

Kadang tulisanku dibaca ribuan orang, kadang hanya terhitung jari. Aku cek tulisanku sebelum ini, baru dibaca 18 kali. Nggak masalah, karena memang bukan di situ kepuasannya. Melainkan mengolah kata, mengutak-atik kalimat, menggeser paragraf-paragraf rumpang, sampai tiga kali membaca ulang tulisan sebelum posting. Lalu tulisan itu sampai ke pembaca, memunculkan kesan yang berbeda-beda bagi tiap individu pembaca.

Kalau ada prestasi, misalnya tulisanku dibaca ribuan kali, atau juara menulis esai di kelas 10 MA dan juara menulis makalah 4 bulan sebelum wisuda, bagiku itu bonus saja. Dalam proses dan klik "publish"-lah kepuasan yang sebenarnya hadir.

Lagi, aku pernah membaca tulisan-tulisan temanku Hammam saat sedang kasmaran—juga saat melampiaskan patah hati. Bagiku tulisan Hammam sangat menginspirasi dan mengacak-acak hati, sampai sekarang selalu aku tunjukkan kepada teman ketika memberi contoh tulisan yang menyentuh perasaan paling dalam.

Maka aku juga banyak belajar untuk bisa menyampaikan cinta dalam tulisan. Walaupun kualitas tulisanku biasa-biasa saja, tapi ternyata tulisan yang dibuat karena cinta memang beda rasanya ketika dibaca.

Aku pernah menulis karena cinta, tapi sekarang aku cinta menulis. Nggak peduli sedang jatuh cinta atau enggak, aku tetap menulis. Aku pun ikut senang ketika teman-temanku mulai menulis dan menjalani proses panjang sampai tulisan jadi dan siap publish. Jadi, kepada teman-teman pembaca tulisan ini, jangan ragu untuk mulai menulis. Juga jangan lupa membagikan tulisan kalian.

Aku selalu bersedia jadi pembaca pertama tulisan-tulisanmu.

Komentar

Postingan Populer