Mengelola Tim seperti Ancelotti di Real Madrid


Suatu malam di bulan Mei tahun 2022, aku berkumpul dengan keluarga besar di Purbolinggo, Lampung Timur. Saat itu beberapa hari setelah lebaran. Pada waktu bersamaan laga leg kedua semifinal Liga Champions Eropa (UCL) antara Real Madrid melawan Manchester City sedang digelar dengan Madrid ketinggalan 4-3 di leg pertama.

Aku nggak meniatkan bangun karena sudah menebak Madrid bakal kalah. Tapi ternyata nggak sengaja terbangun di pertengahan babak kedua. Benar saja, Madrid ketinggalan 1-0. Saat putus asa dan penonton di stadion mulai bersedih, di situlah plot-twist terjadi.

Menit 90, Rodrygo mencetak gol. Disusul gol yang sama dua menit kemudian hingga Madrid memaksakan babak tambahan. Di babak tambahan, bukannya memperbaiki keadaan, City yang memiliki pemain dan pelatih lebih mentereng justru kembali kebobolan. Kali ini lewat penalti Benzema di menit kelima babak tambahan pertama.

Ini adalah satu dari sekian banyak cerita di mana Madrid melakukan comeback dan menjadikan keajaiban seolah-olah hal biasa. Di balik itu semua ada sosok pelatih berkebangsaan Italia bernama Carlo Ancelotti.



Ancelotti dari Kaku menjadi Fleksibel

Alkisah, jauh sebelum menukangi Madrid, Ancelotti punya sistem yang kaku di Parma. Dia menolak transfer legenda Italia Roberto Baggio jelang musim 1997-1998 karena nggak cocok dengan formasi baku 4-4-2 ala Ancelotti. Tetapi ini nggak berlangsung lama, karena Ancelotti sadar untuk mengakomodasi pemain terbaik dunia diperlukan fleksibilitas dalam sistemnya.

Ketika pindah ke Juventus di musim 1998-1999, Ancelotti bertemu Zidane muda yang baru menjuarai Piala Dunia. Zidane tentu bukan sembarang pemain, ia memasuki usia matang dan beberapa tahun kemudian tercatat memecahkan rekor transfer termahal. Maka saat itu Ancelotti mulai terbuka untuk mengadaptasi sistem agar dapat memaksimalkan Zidane. Ini terus berkembang sampai ke era AC Milan dan juga di Madrid baik periode pertama (2013-2015) maupun periode kedua (2021-sekarang).

Di Madrid, Ancelotti dikenal sangat luwes. Detail di urusan bertahan, tapi memberi kebebasan sangat luas pada pemainnya dalam urusan menyerang. Saking luwesnya, netizen sampai bilang kalau yang membuat Madrid menang adalah kekuatan pertemanan, bukan taktik dari Ancelotti. Bahkan beberapa analis termasuk Justinus Lhaksana beranggapan bahwa Ancelotti adalah pelatih miskin taktik.

Apapun itu, Ancelotti sangat berhasil menjaga ruang ganti Madrid yang sejak 2000-an dikenal dengan Los Galacticos (berarti galaksi, karena banyaknya pemain bintang dalam satu tim). Tim ini dikenal berisi para bintang yang susah diatur dan mudah saling bertengkar. Pelatih sekaliber Jose Mourinho dan Fabio Capello saja gagal mencegah perppecahan di ruang ganti. Tapi di tangan Ancelotti, ruang ganti Madrid adem-ayem, jelang laga Final UCL 2024 bahkan ruang ganti Madrid disebut-sebut berada dalam kondisi luar biasa baik. Di Final UCL 2024 Madrid berhasil menghajar Borussia Dortmund 2-0 setelah babak pertama digempur habis-habisan.

Selain itu, dalam dua periode kepelatihan Ancelotti di Madrid, pemain datang silih-berganti. Seringkali pemain yang pergi adalah pemain bintang. Sebut saja Benzema, Hazard, Bale, dan tentu saja pemain terbaik sepanjang sejarah Cristiano Ronaldo. Tapi lihat, tanpa nama-nama beken tersebut Ancelotti masih bisa membawa Madrid juara La Liga dan UCL musim 2023/2024 dengan hanya berbekal Joselu, penyerang yang disebut-sebut berkualitas setara “batang kayu”.


Cara Ancelotti Mengelola Tim

Dalam mengelola tim, cara-cara Ancelotti sangat mungkin dipraktikkan dalam kegiatan kita sehari-hari, misalnya di kepanitiaan, organisasi, atau perusahaan. Pertama, detail dalam pertahanan dan fleksibel dalam menyerang. Caranya adalah menyiapkan visi yang jelas, rencana yang detail, dan siapkan modal yang kuat. Modal yang dimaksud dapat berbentuk modal kapital, modal sumberdaya manusia, maupun modal sosial.

Setelahnya hargai kemampuan dan beri kebebasan kepada tiap personil. Karena dalam tim/organisasi yang baik, biasanya personil sudah melalui proses seleksi. Artinya mereka orang-orang terbaik di antara pilihan lain, atau bahkan di antara orang-orang seumurannya. Orang-orang terbaik perlu diberi kepercayaan dan kebebasan untuk berkreasi, aturan dan arahan perlu hanya sebagai kerangka acuan bukan membatasi gerak.

Kedua, situasi ruang ganti sangat penting. Ini artinya, keadaan nonteknis di tim/organisasi perlu diperhatikan, bukan hanya keadaan teknis. Keadaan teknis misalnya tentang program kerja, rapat, anggaran. Sementara keadaan nonteknis misalnya kesesuaian karakter personal, kekompakan dan kebahagiaan tim, sampai masalah pribadi antar personal dalam tim.

Kadang dalam memilih anggota tim kita hanya memperhatikan aspek teknis. Padahal, aspek nonteknis juga perlu untuk diperhatikan. Aspek teknis bicara tentang hal-hal yang kita inginkan, sementara aspek nonteknis bicara tentang mencegah hal-hal yang nggak kita inginkan.

Ketiga, orang datang dan pergi, jadi persiapkan dengan baik. Kita sering panik ketika seseorang di dalam organisasi pergi. Padahal, dalam organisasi, sekeren dan sedibutuhkan apapun seseorang dalam organisasi, sangat wajar ia datang dan pergi. Selama dalam jumlah dan frekuensi yang wajar, keluarnya seseorang dari tim/organisasi nggak perlu dikhawatirkan.

Lagipula, tim/organisasi dengan kultur yang mapan atau sejarah panjang nggak akan sulit mencari pengganti. Sebaliknya, justru orang yang akan tertarik untuk bergabung. Kembali ke Madrid-nya Ancelotti, ini terbukti dengan rumitnya proses transfer Mbappe dua tahun lalu yang akhirnya batal datang ke Madrid. Eh, dua tahun setelahnya justru Mbappe yang datang dengan gratis, dan kontrak jauh lebih murah dari tawaran sebelumnya.

Keempat, gabungkan personil muda dan personil berpengalaman. Dalam mengelola tim kita perlu keseimbangan, maka keberadaan personil senior dan yang lebih muda perlu diperhitungkan dengan baik. Ancelotti sendiri membuktikannya musim ini dengan keberadaan gelandang veteran berkontrak jangka pendek bernama Luka Modric. Beberapa kali Modric menjadi pembeda di laga penting, keberadaan dirinya bukan hanya memperbaiki keadaan tapi sering mendatangkan kemenangan.

Anggota tim yang muda biasanya punya semangat dan energi yang lebih banyak. Tapi personalia berpengalaman biasanya punya visi dan komunikasi yang baik, serta lebih teliti dalam merencanakan sesuatu. Kalau dapat memaksimalkan dengan baik, organisasi akan mendapat keuntungan dari kedua tipe personil.

Tribute untuk 5 Tahun IBTimes.ID

Postingan ini ditulis sebagai tribute untuk para panitia penyelenggara rangkaian kegiatan 5 Tahun IBTimes.ID. Ahad lalu teman-teman menyelenggarakan agenda yang sukses di Fishipol UNY, dengan pembicara bukan kaleng-kaleng. Ada Prof. Alimatul Qibtiyah, Mas Farchan Noor Rahman, Mas Yusril Fahriza, dan Habib Husein Ja’far.





Bagiku ini semacam sejarah kecil karena bagi teman-teman IBTimes.ID dan panitia yang kebanyakan dari latar belakang Muhammadiyah sangat jarang membuat kegiatan di luar lingkungan Muhammadiyah. Panitia berjibaku menjalankan tugasnya masing-masing dan bekerja sama dengan baik walaupun banyak keterbatasan dan kekurangan di sana sini. Akhirnya, acara sukses dan memberikan pengalaman luar biasa, melengkapi agenda serupa April lalu di Fisipol UGM.

Seperti Ancelotti yang menjadi manajer terbaik Eropa dengan 5 trofi UCL dan total 29 trofi, tim ini dan tim/organisasi lain di sekitar kita juga bisa menghadapi keterbatasan, meraih capaian baru, dan melakukan keajaiban-keajaiban kecil dengan menerapkan empat prinsip di atas.



Komentar

Postingan Populer