Semua Pekerjaan adalah Mulia dan Terhormat

Pekerjaan adalah aktivitas memenuhi kebutuhan. Hari-hari ini, sebagian besar kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan uang. Maka kerja adalah kegiatan mencari uang atau penghasilan untuk memenuhi kebutuhan. Konsep dasar bekerja ini perlu dipahami lebih dulu.

Banyak ulasan di medsos bahwa pekerjaan harus sesuai dengan passion. Banyak juga yang bilang bahwa pekerjaan harus berdampak. Ada juga yang beranggapan bahwa pekerjaan harus sepenuhnya memenuhi aspek legal.

Anggapan-anggapan di atas nggak sepenuhnya salah. Tapi menurutku nggak berangkat dari realita saat ini.

Di Indonesia, tingkat pengangguran nggak jauh dari tingkat pengangguran global. Tingkat pengangguran di Indonesia ada di sekitar angka 5%. Nah, masalah bukan ada di situ, melainkan porsi pekerja informal yang terlampau tinggi, lebih dari 60% pada Februari 2023. Angka ini jauh lebih tinggi dari angka ideal ILO, yaitu porsi pekerja informal kurang dari 20% saja.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita perlu mengenal lebih dahulu apa itu pekerjaan formal dan informal. Pekerjaan formal adalah pekerjaan yang diregulasi dengan baik, dipajaki, dan dengan demikian terproteksi dengan baik. Pekerjaan formal berdasarkan data BPS masuk dalam klasifikasi status pekerjaan utama "buruh/karyawan/pegawai" dan "berusaha dibantu buruh tetap". Di luar itu, semua tergolong pekerjaan informal.

Dengan kata lain, jika kita bekerja dengan jam kerja tidak tetap (seringkali terlalu singkat), digaji tidak layak, dan tidak ada pajak maupun perlindungan maka kita termasuk pekerja informal.




Tetapi, untuk menjaga biar tulisan ini nggak ke mana-mana aku coba untuk bercerita berdasarkan petualanganku pribadi dalam memenuhi kebutuhan. Aku mulai berpikir untuk mencari uang jajan tambahan sekitar 13 tahun lalu saat masih di Muallimin Jogja.

Jastip, Belajar Menulis, dan Mengelola Medsos

Saat itu uang jajanku 300 ribu - 400 ribu rupiah per bulan. Pas pasan, hanya cukup untuk kebutuhan dasar. Kadang saat terlalu sembrono uang jajanku minus, sampai harus berhutang. Aku punya teman namanya Hendrik dari Pemalang, menjadi salah satu yang paling sering aku hutangi.

Di bangku MTs, aku mencari penghasilan tambahan dengan membuka jastip pameran komputer. Mulai dari flashdisk, mp3 player, headset, sampai aneka jenis kabel. Lumayan, dalam setahun aku bisa 3-4 kali jastip dengan nominal pemasukan sekitar setengah dari uang saku bulananku. Rasa-rasanya nggak terlalu besar tapi ini berhasil menyelamatkan uang saku-ku dari defisit.

Selanjutnya, di akhir masa MTs sekitar 10 tahun lalu, aku belum punya ponsel pintar dan laptop. Tapi aku mulai giat menulis di blog. Aku mulai menulis saat libur semester (kalau tidak salah) pada kenaikan kelas 8 ke kelas 9. Kebiasaan menulis ini aku lanjutkan dengan menulis baik di warnet maupun di lab komputer sekolah.

Saat memasuki bangku MA, aku bergabung di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Di sini aku berkenalan dengan pengelolaan media sosial, dimulai dengan Twitter lalu berlanjut dengan membuat akun Instagram untuk IPM sekolahku (akun ini masih aktif dengan nama pengguna @ipmmuin). Keterampilan menulis dan manajemen medsos ini seiring berjalannya waktu aku jaga dan terus aku asah.

Sampai pada masanya tahun 2016 aku harus memilih jurusan kuliah. Aku terjebak pada persimpangan: apakah memilih jurusan sesuai kemampuanku atau jurusan yang sukai ilmunya?

Akhirnya aku memilih Geografi dan Ilmu Lingkungan UGM, ilmu yang aku sukai. Jurusan ini jadi satu-satunya jurusan yang kupilih saat aku gagal di SNMPTN, gagal lagi di SBMPTN, lalu diterima melalui jalur Ujian Mandiri.

Mulai Berpikir Soal Karir

Seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 2017-2018, aku mulai memikirkan masa depanku dengan aktivitas sebagai pegiat media dan penulis amatir. Saat itu juga aku mulai menginjak semester 4 bangku kuliah. Aku kembali bertanya, jalur karir seperti apa yang akan kupilih?

Lazimnya, karir yang aku pilih linear dengan keilmuanku. Tetapi sayangnya selama kuliah aku terlalu banyak menghabiskan waktu di luar kampus. Skill-skill yang sangat terkait dengan ilmu geografi seperti pembuatan peta, pengukuran indikator cuaca dan iklim, sampai perencanaan wilayah dan ruang luput aku dalami. Sehingga pilihan karir sesuai dengan keilmuanku segera keluar dari prioritas pilihanku.

Selain itu, pada waktu itu aku juga terbayang untuk memulai langkah jadi pengusaha. Sulit untuk diwujudkan mengingat aku tidak memiliki modal yang cukup. Di sisi lain, aku sudah punya pengalaman dan mendapatkan uang jajan tambahan dari aktivitas menulis dan mengelola media sosial. Akhirnya, jalan ini yang aku pilih.

Memang pahit, harus melepas ilmu dan keahlian yang sebenarnya aku cintai karena pertimbangan rasional. Tapi aku terus berjalan dengan penuh keyakinan bahwa pekerjaan nggak harus datang dari apa yang kita cintai, melainkan kita bisa mencintai pekerjaan kita, apapun itu.

Benar saja, tanpa menunggu lama, 2018 aku diajak membangun IBTimes oleh Mas Azaki Khoirudin. Saat itu aku yang paling muda di antara pendiri IBTimes lainnya. Pada 2019, selama satu tahun aku merasakan mendapat pemasukan layak selama setahun.

Nggak berhenti sampai di situ, tahun 2020 dan 2021 aku mendapat pekerjaan jarak jauh dengan pemasukan lebih dari cukup dengan mengelola media-media Paudpedia. Peranku ini nggak signifikan, tapi beberapa waktu lalu aku bertemu dengan eks atasanku di Paudpedia. Beliau cerita dengan mata berbinar bahwa Paudpedia ternyata banyak manfaatnya. Saat ini, beliau baru dilantik sebagai pejabat eselon II.

Berbagai perjalanan antara tahun 2018-2021 ini pula yang membuatku berkompromi dalam memilih jurusan S2. Kali ini aku lebih memilih jurusan yang sesuai dengan duniaku, Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan dengan peminatan Transformasi Digital. Keilmuannya jauh dari geografi, walaupun beberapa mata kuliah tetap serupa dengan pengalamanku di Geografi, juga tetap bertemu beberapa dosenku di Geografi.

Lalu pada tahun 2022 dan 2023, aku nggak punya pekerjaan tetap selain fokus kuliah. Tapi berkat portofolio yang sudah aku bangun, ada saja pemasukan tiap bulan. Mulai dari mengisi materi, menulis buku, mengelola medsos, sampai terjun di dunia kreatif. Selain itu ada bonus aku terpilih mengikuti YSEALI 2022 dan AIMEP 2024, keduanya tidak terlepas dari portofolioku di IPM serta sepak terjang di IBTimes.

Memasuki Fase Serius Bekerja

Lanjut ke 2024, aku bersama tim yang mulai fokus mengurus IBTimes menuai buah kerja kami. Mulai ada pemasukan yang lebih layak, proyek-proyek kecil yang bermakna, dan oke gajinya. Lewat jalan ini, aku juga akhirnya menjadi pengusaha, sebuah profesi yang dulu hanya jadi angan-angan. Nyaris tanpa modal pula.

Akhir 2024, aku ditawari pekerjaan yang menjadi pekerjaanku sekarang. Bidangnya aku senangi, gajinya cukup layak, dari sisi gengsi juga menurutku cukup (atau bahkan sangat) baik. Dari pengalamanku ini, aku menarik kesimpulan bahwa pekerjaan itu nggak harus memenuhi banyak kriteria. Yang terpenting, memberi pemasukan dan halal. Titik.

Terlebih ini dapat diterapkan jika kita masih berkuliah. Ketika ekspektasi nggak terlalu tinggi dan kebutuhan masih ala kadarnya. Juga belum ada keluarga yang menjadi tanggungan selain diri kita sendiri.

Berkali-kali aku melihat teman-teman di kampus maupun organisasi punya ekspektasi yang tinggi. Atau punya kriteria pekerjaan yang banyak. Padahal kemungkinan besar pekerjaan yang layak nggak akan kita dapatkan di pengalaman pertama kita bekerja.

Jadi, selama teman-teman pembaca masih bingung dan menaruh harapan tinggi untuk pekerjaan, coba dipikirkan ulang. Apakah pekerjaan ini adalah sesuatu yang membuat kita dibayar?

Jika jawabannya iya, lanjutkan. Apalagi jika teman-teman perlu memenuhi kebutuhan pribadi sekaligus keluarga, saat ini juga. Tidak perlu ambil pusing juga soal gengsi dan kehormatan, karena setiap pekerjaan adalah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Dengan demikian, apapun pekerjaannya (selama memberi pemasukan dan halal), semua sama-sama terhormat, sama-sama mulia.



Meskipun aktivitasnya nggak kita senangi. Esok hari, kalau pemasukan kita sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, barulah kita mempertimbangkan untuk bekerja di bidang yang sesuai passion atau memberi dampak bagi orang banyak. Ini sesuai dengan konsep "Ikigai".

Sebagai penutup, apa yang aku tulis ini bukan semata-mata soal menjadi materialistis dan mencari gaji yang besar. Melainkan kerja apa saja, yang penting punya pekerjaan, meskipun perkerjaan tersebut masuk golongan pekerjaan informal seperti aku sebutkan di awal.

Dari pekerjaan informal, jika kita menggeluti secara serius dan berjejaring dengan orang-orang seprofesi, langkah menuju pekerjaan formal yang lebih layak akan terbuka. Barulah setelah itu kita akan punya lebih banyak pilihan untuk memenuhi tujuan hidup yang lebih besar. Mungkin membangun usaha, mungkin jalan-jalan, mungkin menciptakan inisiasi sosial berdampak baik, atau mungkin sebatas punya hewan peliharaan yang biaya perawatannya mahal itu.

Akhirnya, aku tutup postingan ini dengan sebuah postingan di X yang nggak sengaja lewat di timeline pagi tadi.



Komentar

Postingan Populer