Tidak Bahagia Melihat Orang Lain Bahagia

Dua pekan lalu aku mengunjungi Anggitya, satu di antara teman baikku yang sudah menikah dan punya anak. Perjuangan Anggitya dan Ghulam, suami Anggitya, nggak mudah menuju proses persalinan. Tapi alhamdulillah Kintan si adik bayi sehat, juga lucu dan menggemaskan. 

Kami semua yang hadir ikut bahagia. Anggitya sehat, Ghulam sehat, dan adik bayi juga sehat. Di momen itu aku menyadari bahwa pertemanan kami panjang juga. Dimulai dari bertahun-tahun silam, sampai sekarang satu persatu mulai berkarier, menikah, dan pasangan Anggitya-Ghulam jadi yang pertama punya anak.




Bahagia Ketika Teman Berbahagia

Di titik ini, aku bersyukur aku punya teman baik sekaligus teman main dan cerita yang saling support sampai ke level tertinggi, yaitu bahagia ketika temannya punya pencapaian.

Dengan cara itu pula teman-temanku dan aku bisa bercerita tentang capaian-capaian kecil kami. Ada yang jadi dosen, mau jadi ASN, ada yang kuliah S3, ada yang sedang mengandung, ada pula yang fokus membangun karier.

Kenapa begitu? Karena memang mendapat dukungan ketika kita cerita tentang prestasi dan pencapaian bukanlah sesuatu yang mudah. Pertemanan yang akrab biasanya ditandai dengan saling curhat topik-topik seru. Di level selanjutnya, curhat tentang penderitaan dan perjuangan. Barulah level selanjutnya adalah saling curhat tentang capaian-capaian kita.

Di titik ini pula aku belajar bahwa tugas kita pada kebahagiaan teman-teman kita, ya ikut berbahagia. Titik.

Hal ini perlu digarisbawahi meskipun terkadang keputusan teman kita nggak sesuai (atau berlawanan) dengan harapan kita. Jadi, selama kita tau bahwa sesuatu yang membuat teman-teman kita bahagia itu benar, baik, dan mulia secara prinsip, ya perlu kita dukung. Bahkan meski keputusan-keputusan tersebut mengecewakan kita.

Meski begitu, "ikut bahagia ketika orang lain bahagia" lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Salah satu penjelasan yang baik ada di film Inside Out. Film ini menceritakan Riley kecil yang punya empat perasaan dasar, senang, sedih, marah, dan jijik. Beranjak remaja, Riley mengalami masa pubertas.

Masa-masa remaja Riley diceritakan dalam sekuel Inside Out 2. Terdapat perasaan-perasaan yang baru hadir ketika manusia remaja menuju dewasa. Perasaan tersebut antara lain cemas, iri, malu, bosan, dan nostalgia. Dalam konteks tulisan ini, rasa iri yang menjadi pembahasan kita.

(Film ini adalah film Disney yang menjadi target boikot. Tapi karena aku nggak punya referensi lain yang lebih mudah untuk diceritakan, maka film ini yang aku jadikan sebagai referensi. Semoga dapat dimaklumi)

Iri yang Normal dan Nggak Normal

Menurutku pribadi, perasaan iri itu normal, dan mudah sekali muncul. Umumnya ini muncul ketika orang lain memiliki sesuatu yang lebih baik dari kita. Entah sesuatu itu didapatkan cuma-cuma, atau diusahakan. Makanya ada peribahasa "rumput tetangga lebih hijau" dan "urip iki mung sawang-sinawang".

Kapan iri menjadi wajar? Ketika cukup disimpan pada diri sendiri. Kapan iri menjadi nggak wajar? Ketika berubah jadi dengki. Lebih nggak wajar ketika kita bertindak untuk melampiaskan kedengkian kita.

Meskipun iri itu wajar, bukan berarti baik untuk dibiarkan. Ada cara yang sederhana untuk mengatasi perasaan iri, yaitu membandingkan diri kita dengan orang lain yang keadaannya nggak sebaik kita. Selain itu, ada juga yang lebih baik lagi untuk dilakukan, membandingkan diri kita saat ini dengan diri kita di masa lalu.

Kemudian, terkadang iri jika dikelola dengan baik akan menjadi energi yang luar biasa. Keberadaan rasa iri sebagai pemantik kompetisi yang sportif justru akan mengembangkan diri lebih baik lagi terlepas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Rasa iri juga membantu kita untuk memasang target yang perlu kita kejar.

Terakhir, sadarilah bahwa kebaikan yang kita lihat ada di orang lain selalu datang bersama konsekuensi yang besar, tanggungjawab yang besar, atau penderitaan yang besar. Kalau bisa melihat hal ini secara utuh, rasa iri apalagi dengki akan jauh berkurang. Karena kita merasa cukup dengan kondisi kita sekarang.

Tulisan di atas seolah bicara tentang kita sebagai pemilik rasa iri kepada orang lain. Tapi bagaimana jika kita yang jadi target perasaan iri tersebut?

Seorang teman memberikan nasihatnya kepadaku belum lama ini. Ia menekankan untuk nggak mempedulikan rasa iri setiap orang, karena biasanya mereka yang iri justru nggak memiliki kontribusi terhadap diri kita. Komentar dan pandangan sinis cukup didengar dan ditelan, lebih baik lagi kalau kita sama sekali nggak tau. Emosi sebentar boleh, tapi kemudian lupakan.

Bisa Bersyukur adalah Anugerah

Jangan lupa juga belajar untuk bersyukur. Iya, memang benar bahwa manusia belum tentu punya tingkatan syukur yang sama. Tapi kita semua bisa belajar bersyukur. Bahkan, kalau merasa belum cukup bersyukur dengan layak, sadar akan perlunya rasa syukur adalah anugerah yang luar biasa. Apalagi ketika kita ada dalam posisi yang baik.

Sampai-sampai Nabi Sulaiman berdoa dalam Al-Quran ketika pasukannya akan melewati sebuah koloni semut:
Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih." (Q.S. An Naml:19)

Semoga kita termasuk orang-orang yang dianugerahkan ilham untuk tetap bersyukur. Semoga kita juga ikut berbahagia ketika orang-orang di sekitar kita, terlebih teman-teman kita sedang berbahagia.

Sudahkah kamu ikut berbahagia dengan kebahagiaan temanmu hari ini?

Komentar

Postingan Populer