Jalan Tikus
Suatu hari di tahun 2007 (atau 2008, aku nggak ingat persisnya) aku dan Mbak Nadiya diajak jalan-jalan oleh Bapak ke Jakarta. Kami numpang menginap di rumah Om Saad dan Mbak Banun, di sekitar daerah Jakarta Selatan. Hari kedua di Jakarta, Bapak mengajak kami berdua main ke Dufan di Jakarta Utara.
Kala itu pertama
kalinya Bapak dan Mbak Banun menyebut istilah “jalan tikus” saat kami akan meninggalkan
rumah pagi hari. Aku saat itu masih polos, belum ada istilah “jalan tikus” dalam
kepalaku. Dalam hati aku bertanya, “Jalan tikus? Jalan apa itu? Apakah jalan tempat
tikus got berlalu-lalang?”
Aku lanjut
bertanya dengan penuh keheranan ke Bapak dan Mbak Banun, “Hah, lewat jalan
tikus? Gimana, tuh, maksudnya?”
Ilustrasi jalan tikus. Foto: Detiknews |
Saat-saat Bertemu Jalan Tikus
Betapa herannya
aku ketika tahu bahwa jalan tikus bukanlah jalan yang biasa dilalui tikus. Di
jalan tersebut nggak aku temukan satupun tikus. Tikus got, tikus kampung, tikus
lab, tikus percobaan, induk tikus, anak tikus. Nggak ada satupun.
Selain itu,
ternyata jalan tikus juga nggak kecil-kecil amat. Bukan hanya tikus melainkan
manusia juga muat untuk lewat di jalan tikus. Bahkan, sepeda motor pun masih
muat untuk lewat di jalan tikus!
Saat itu aku baru
paham bahwa definisi jalan tikus adalah jalan pintas, yang biasanya berukuran kecil dan umumnya dijumpai di area perkotaan.
Jalan ini menjadi jalan yang dilalui pejalan kaki, pesepeda, maupun pesepeda motor
memangkas jarak tempuh. Mungkin istilah “jalan tikus” ini merupakan frasa konotatif
(frasa yang tidak memuat makna sebenarnya) pertama yang aku pelajari seumur hidupku.
Jakarta saat itu
bukan hanya menambah pengalaman baru dengan gedung-gedung tinggi, melainkan
juga menambah perbendaharaan kata baru. Kenangan kecil dan sepele ini sangat
terekam di kepalaku sampai sekarang.
Aku Si Pencari Jalan Tikus
Seiring aku menjadi
remaja dan mendewasa, aku menjadi penjelajah di berbagai kota. Termasuk Kota
Jogja yang aku tinggali 14 tahun terakhir. Selama tiga tahun pertama aku hidup tanpa
kendaraan, karena di pondok nggak boleh membawa sepeda dan sepeda motor. Sehingga, dalam
jangka waktu tiga tahun, aku cukup sering menumpang bus Trans Jogja hingga
hapal jalan-jalan protokol setengah Kota Jogja.
Lalu di tahun
keempat aku mulai berani mencuri-curi kesempatan mengendarai sepeda maupun
sepeda motor. Ketika mengenal kendaraan, kebiasaan kecilku yang bertahan sampai
sekarang adalah mencari jalan tikus.
Aku adalah sosok
yang sangat malas menempuh jalan yang sering dilalui orang-orang. Bukan karena ingin
edgy dan sebatas berbeda. Tetapi lebih karena bagiku jalan yang dilalui
orang kebanyakan terlalu banyak lampu merah dan terlalu ramai. Sehingga, membuat
waktu tempuh menjadi terlalu lama.
Oleh sebab itu,
aku mulai mencari jalan tikus. Menghapalkan satu demi satu. Ketika mendapatkan
jalan tikus baru, walaupun hanya lebih cepat tiga menit dibanding rute biasa,
tetap menjadi kepuasan tersendiri bagiku.
Hingga saat ini, aku hapal 70-80% jalan tikus di Kota Jogja. Meski belum semua jalan tikus aku hapal, jumlah ini tetap banyak. Bahkan aku lebih hapal jalan-jalan tikus di Kota Jogja ketimbang di Kota Bandar Lampung, di mana aku menghabiskan 12 tahun masa kecilku. Pengetahuanku ini pun cukup berguna, berulang kali aku dapat menghindari titik kemacetan karena rute jalan tikus yang aku kuasai.
Menemukan jalan
tikus menjadi kesenangan tersendiri bagiku bukan hanya untuk mempersingkat
waktu tempuh. Ketika menemukan jalan tikus baru, aku seperti melihat dunia
baru. Terbaru, aku menemukan jalan tikus yang dapat menjangkau Malioboro dalam
waktu 5 menit, lebih cepat 50-70% dibanding jarak dari rumahku menuju Malioboro
menuju jalan utama.
Mencari jalan baru dan menemukan jalan tikus sepertinya masih akan menjadi kebiasanku sampai waktu-waktu mendatang. Bahkan di kota-kota lain di negeri yang jauh. Tentunya, setelah aku menghapalkan jalan-jalan protokol.
Komentar
Posting Komentar