Aku, Bali, dan Jodoh Tak Akan Kemana(?)
Sekitar 9 tahun lalu, tepatnya tahun 2015, aku mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Bali. Sayangnya saat itu kesempatan datang di waktu yang tidak tepat, kesempatan ke Bali untuk pertama kalinya terlewatkan. Aku pun mencoba merelakan sambil berpikir positif bahwa kesempatan lain akan datang di masa depan.
Beberapa tahun setelahnya, seiring dengan aktivitas organisasi,
aku mulai banyak melakukan perjalanan. Ke Malang, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Sampai ke Kalimantan Timur, Lombok,
Batam, bahkan juga termasuk Sumatra Utara dan Aceh, provinsi di ujung Pulau
Sumatra. Tapi nggak sampai ke Bali juga. Rasa penasaran pun semakin memuncak.
Di antara sederet
perjalanan tersebut, pada 2018 aku ke Banyuwangi untuk kondangan. Sayang, nggak bisa lanjut sampai ke Bali. Begitupun 2019 saat Kembali ke Banyuwangi untuk survei, juga
nggak sampai ke Bali. Padahal di kesempatan kedua tersebut, aku hampir sampai
Alas Purwo, ujung timur Pulau Jawa yang hanya sepelemparan batu dari Bali.
Pertengahan 2019
saat berangkat KKN kami transit di Lombok lalu menyeberang ke salah satu pulau
di Sulawesi Selatan. Penerbangan ke Lombok saat itu langsung dari Surabaya
tanpa menghampiri Bali. Awal 2021, aku ke Lombok untuk kedua kalinya. Lagi-lagi
tanpa mampir ke Bali. Sudah penasaran, makin penasaran dengan Bali.
Ingin rasanya inisiatif main ke Bali tanpa menunggu kesempatan datang. Tapi aku yang saat itu masih
mengandalkan uang bulanan dari orang tua belum punya cukup tabungan untuk main dan
berlibur. Selain itu aku juga nggak mempunyai alasan kuat untuk mengunjungi
Bali, selain sebatas keinginan yang makin besar.
Satu hal yang aku yakini, suatu saat aku pasti akan kembali mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Pulau Dewata yang tersohor seantero dunia ini. Aku hanya perlu sabar sembari percaya pada konsep delay of gratification (penundaan kesenangan). Konsep ini mengajarkan bahwa menunda kesenangan sangat mungkin akan memunculkan kepuasan dan kebahagiaan yang lebih besar di masa depan.
"Jika kamu benar-benar menginginkan sesuatu, semesta akan berkonspirasi membantumu."
Kesempatan
kemudian benar-benar datang pada pertengahan 2021. Dalam rangka pelatihan TM3
IPM di Bali, aku diminta menjadi Master of Training. Saat itu aku
diundang oleh Hafez, Nadila, Nurma, dan tim dari PW IPM Bali. Berangkat pagi
buta untuk perjalanan darat 12 jam dengan kereta api Sri Tanjung, lalu ternyata
harus menginap lebih dulu di Banyuwangi karena saat pandemi penyeberangan hanya
sampai pukul 20.00 (terima kasih kepada Haedar dan keluarga untuk tumpangannya).
Sekali lagi kunjunganku
ke Bali menemui halangan. Tapi kali ini halangan nggak sampai menggagalkan agenda ke Bali.
Pagi hari, akhirnya menyeberang dan sampai ke Pulau Bali. Pengalaman pertama melintasi zona waktu
secara langsung, dengan jam di ponselku tiba-tiba maju satu jam di tengah-tengah Selat Bali. Akhirnya
kesempatan menginjakkan kaki di Bali benar-benar datang setelah penantian selama 6 tahun. Ditemani
mentari pagi Selat Bali yang saat itu terasa begitu sempurna.
Penantian yang
sangat lama membuatku begitu menikmati momen ketika benar-benar sampai Bali. Kalau kamu mengira aku menikmati
pantai, tempat wisata, kebebasan dan kehidupan malam, kamu salah.
Aku belum pernah ke Ubud. Aku belum pernah mengunjungi Desa Panglipuran.
Aku belum pernah mampir ke Kintamani. Juga belum pernah benar-benar menikmati Pantai
Kuta. Tapi aku cukup puas menikmati Kota Denpasar sebagaimana adanya. Bersepeda
motor dari Renon, ke Kuta, ke Ubung, sampai perlahan aku hapal jalan protokol Kota
Denpasar.
Gimana, ya, Kota Denpasar punya suasana mirip Kota Jogja sebagai sesama kota budaya.
Tapi bagiku Denpasar lebih unik nuansanya. Terlebih, nyaris nggak ada azan
di tiap sudut kota ini, kecuali beberapa tempat kantong-kantong permukiman
muslim.
Jadi bukan pantai
dan tempat wisata yang membuatku terkesima. Tapi bentuk bangunan, sungai besar
yang relatif bersih, sampai jalanan dan orang-orang di Bali yang memberi kesan
tersendiri di benakku.
Aku juga begitu menikmati cita rasa masakan Bali. Dari yang normal-normal saja dan menurutku punya rasa seperti masakan Lombok (aku cocok dengan cita rasa makanan Lombok, makanya juga cocok dengan makanan di Bali), sampai makanan dengan cita rasa unik—untuk nggak menyebut aneh—seperti rujak kuah pindang.
"Jika kebetulan terjadi dua kali, maka akan terjadi untuk kali ketiga."
Setelah kunjungan
pertama di 2021, aku kembali berkesempatan ke Bali di akhir 2021 untuk Rakernas
IPM. Absen di 2022, lalu kembali berkesempatan mengunjungi Bali untuk main
bareng Mbak Nadiya di tahun 2023. Ngebolang ceritanya, perjalanan darat ngeteng
dari Jogja ke Banyuwangi, menyeberang ke Jembrana, naik bus AKDP ke Ubung, naik
bus kota ke Monang-maning, lalu pinjam motor Nadila dan menginap ke rumah Pakde
Ari di Benoa.
Sekembalinya dari
Bali bersama Mbak Nadiya, aku rasa cukup. Aku nggak punya alasan yang
cukup kuat untuk ke Bali. Urusanku sehari-hari lebih banyak di Jogja dan
Jakarta. Untuk liburan aku lebih memilih daerah dingin di sekitar DIY-Jateng,
tentu saja karena lebih dekat dan lebih murah.
Tapi, akhir Juni kemarin tiba-tiba dikabari kalau ada urusan
kerjaan yang mengharuskanku berangkat ke Bali. Kali ini dengan kejutan selanjutnya,
tiket pesawat yang dibelikan oleh bos (sebut saja begitu, karena sulit
menjelaskannya) mengarahkanku pada tipe pesawat Airbus A330-300. Pesawat berkapasitas
lebih dari 300 penumpang yang biasanya terlalu besar untuk penerbangan kurang
dari dua jam.
Pada akhirnya, perjumpaan
dengan Bali terasa seperti pertemuan dengan kekasih. Berkali-kali bertemu, tapi
selalu ada hal baru, selalu ada yang spesial, tidak pernah membosankan.
2021 sampai 2024.
Empat tahun, aku empat kali berkunjung ke Bali. Bali jadi destinasi
terbanyakku di luar Lampung dan Pulau Jawa. Kunjunganku ke Bali lebih banyak dibanding
Kalimantan Selatan (3 kali), Sumatra Selatan (3 kali), Batam (3 kali), dan
Lombok (juga 3 kali). Padahal aku
lebih dulu mengunjungi semua destinasi itu dibanding Bali. Tapi Bali yang pada
akhirnya jadi pemegang rekor terbanyak.
---
Meski nggak
yakin-yakin amat—karena aku belum sampai ujung pencarian, barangkali seperti inilah manifestasi "jodoh tak akan ke
mana". Nggak harus dicari, nggak harus yang paling pertama, nggak harus digenggam erat-erat, tapi kalau memang
jodohnya suatu saat akan bertemu jadi pemenangnya.
Kita cuma perlu sabar dan menantikan waktu yang tepat, juga percaya. Semua yang memang ditakdirkan menjadi milik kita, akan bertemu dengan diri kita. Maktub.
Komentar
Posting Komentar