Kisah Cinta Seorang Nabhan

Sampai usia belasan tahun, sekitar kelas 3 MTs, aku nggak mau pacaran. Selama 15 tahun hanya pernah satu kali cinta monyet saat SD. Tulisan tentang berbagai alasan nggak mau pacaran bisa kamu baca dalam tulisan ini, ini, atau ini. (Harap menurunkan ekspektasi karena tiga tulisan tersebut ditulis oleh bocil usia 15-16 tahun🙏)


Tapi seiring berjalannya waktu dan mulai berkenalan dengan teman-teman perempuan, aku mulai terbuka untuk pacaran. Sejauh ini aku pernah dua kali pacaran. Akhir dari pacaran pertama, aku patah hati dan menangis habis-habisan. Tanpa disengaja, akhir dari pacaran yang kedua sebaliknya, aku yang membuat patah hati dan sang mantan kekasih menangis habis-habisan.

Memang pahit dan nggak sesuai harapan. Tapi setidaknya ada beberapa yang aku pelajari, antara lain:

Satu, saat kasmaran, aku tipe yang menunjukkan perasaan. Menurut orang-orang terdekat, gelagatku juga sangat terlihat. Misal jadi sering menyebut nama, sering menghubungi, seringkali ingin membantu si perempuan idaman secara berlebihan. Sebagian perempuan mungkin senang, tapi sebagian yang lain nggak senang.

Dua, aku nggak pernah bisa punya hubungan romantis dengan dua orang berbeda, bahkan sebatas naksir pun nggak bisa. Harus ada satu yang disudahi (dan aku anggap clear) sebelum naksir ke yang lain.

Ini sekaligus untuk menjawab kalau teman-teman sekalian beranggapan bahwa aku banyak mendekati perempuan. Enggak, bahkan aku punya batasan yang jelas: panggilan sayang. Aku sangat hati-hati dalam urusan panggilan sayang karena bagiku itu batas apakah ada hubungan dekat atau enggak. Jadi kalau ada kabar tersebar dan nggak diklarifikasi ke aku, ya aku nggak ambil pusing, hehehe...

Tiga, komitmen itu penting. Sebagai santri, pasti banyak yang naksir perempuan tapi berhadapan dengan prinsip moral dan aturan pesantren sehingga pacaran diam-diam dibalut judul "komitmen" "teman hidup" dan semacamnya. Nah, ternyata status itu penting, karena menandakan awal dari hubungan dan konsekuensinya. Jadi, pacaran ya pacaran aja lah, nggak usah pake judul-judul lain yang ujung-ujungnya berpeluang saling menyakiti di masa depan.

Empat, ternyata patah hati mengubah banyak hal. Bukan hanya soal perasaan melainkan soal kehidupan secara umum, ritme kehidupan bahkan cara kita memandang orang-orang sekitar kita jadi banyak berubah setelah patah hati. Selain itu, dalam posisi "tersangka" dalam urusan patah hati ternyata juga nggak enak, minimal ada perasaan bersalah yang nggak habis-habis.

Kalau bisa sedikit ambil hikmahnya, dengan patah hati banyak sekali yang bisa dipelajari, juga jadi pengingat bahwa perubahan itu hal biasa dalam hidup manusia.

Lima, dulu aku jatuh cinta dengan lambat, pelan-pelan dan tidak terus terang. Tapi beberapa tahun belakangan berubah drastis, aku cenderung buru-buru. Aku mudah bosan dan paling lama perasaan bertahan selama tiga bulan. Kalau dalam tiga bulan hubungan nggak jelas, ditolak, atau nggak cocok, ya aku mundur pelan-pelan. Satu-dua kali mundur secara kilat juga, sih, hehehe. Ini yang jadi salah satu penyebab aku nggak banyak pacaran. Karena buru-buru dan ketika nggak jadian, perasaanku cepat hilang.

Enam, ternyata aku benci kejutan. Aku bisa membuat kejutan-kejutan kecil, tapi ternyata nggak bisa menghargai kejutan yang diberikan padaku dengan pantas. Justru aku lebih senang dengan hal-hal sederhana yang diberikan dengan memberi tahu terlebih dahulu. Karena jadi lebih terasa manfaatnya, aku pun nggak merasa bersalah karena nggak bisa menjaga barang yang dihadiakan kepadaku.

Tujuh, ternyata aku nggak bisa marah. Kedengarannya ini hal baik, apa lagi untuk aku yang kalau melampiaskan amarah bisa meledak-ledak. Tapi ternyata dengan nggak marah, pasangan jadi nggak tahu mana yang penting bagiku dan mana yang enggak. Karena nggak melampiaskan emosi dengan baik, jadi lama-kelamaan emosi menumpuk dan tinggal tunggu waktu jadi buruk buat hubungan.

Delapan, aku nggak pernah belajar dari keluarga soal asmara. Sedikit sekali obrolan soal percintaan yang aku dapat dari keluarga inti maupun keluarga besar. Jadi aku belajar sendiri, kebanyakan dari memperhatikan teman, juga dari pengalaman belajar soal berkomunikasi dan berinteraksi di organisasi. Pengalaman sebagai ketua umum enam tahun lalu sangat banyak mengajariku soal komunikasi.

Sembilan, tulisan ini dipublikasikan pada 26 Maret 2023. Tepat setahun yang lalu aku bertemu seorang perempuan, sambil membahas soal sikap-sikapku, saat itu dia melontarkan pertanyaan yang cukup bikin aku bingung menjawabnya. Setelahnya, aku kira dampaknya biasa saja, tapi hari-hari selanjutnya malah kepikiran. Makin hari makin kepikiran. 

Sayang sekali, reaksiku setelahnya cukup buruk. Harus diakui, aku membuat banyak kesalahan dan rasanya selalu ingin kembali memutar waktu. Tapi, it is what it is, yang sudah lewat hanya bisa dikenang dan disesali. Yang penting, aku masih sama dengan apa yang aku sebutkan dalam postingan Instagram-ku Januari lalu:

Saya juga ngga tahu sampai kapan saya bisa terus bertahan dengan perasaan ini. Bisa jadi ribuan hari lagi, bisa jadi juga hanya sampai besok.

Yang saya tahu, dia membuat saya jatuh hati, berulang kali, setiap hari, hingga sampai saat ini sudah ratusan hari.

Sampai di sini dulu sepenggal tulisan tentang kisah cinta seorang Nabhan. Semoga lain kali ada lagi cerita yang bisa dibagi. Senang akhirnya bisa menulis soal perasaan, yang sangat jarang aku lakukan di sini

:)

Komentar

Postingan Populer