Kisah Mainstream tentang Masakan Ibu
Saat masih nyantri di Muallimin dulu, Aku punya yang selalu bersemangat ketika cerita tentang masakan Ibu, Satria Al Fajar namanya, panggilan akrabnya "Satok". Nah, Satok yang teman sekaligus Ketua IPM di ranting dahulu sangat excited jika bertemu dengan sajian sederhana tapi enak, komentarnya selalu, "Wah, senang banget, jadi teringat masakan Ibu." Hal ini berlaku di manapun kami berada, di asrama, di madrasah, di rumah teman, bahkan di acara-acara IPM.
Aku sendiri senang sekali melihat ekspresi senangnya Satok ketika teringat masakan Ibu. Mungkin, apa yang dirasakan Satok juga dirasakan oleh teman-teman yang berada di perantauan. Apa yang dirasakan Satok juga dirasakan oleh setiap orang yang hidup jauh dari orang tua, bahkan sampai jadi iklan berbagai produk masakan mulai dari produk minyak goreng, margarin, kecap, bumbu masakan, sampai layanan pesan-antar makanan.
Rasa-rasanya, bahasan soal masakan Ibu adalah kisah mainstream yang ada di sebagian besar keluarga di Indonesia. Dalam tulisan ini aku sedikit bercerita soal masakan Ibu meski dalam sudut pandang yang lain.
Meskipun sangat senang dan menghargai teman-teman yang punya kesan kuat soal masakan ibu, aku pribadi nggak terlalu relate dengan hal-hal semacam ini. Ada dua alasannya. Pertama, Ibuku adalah wanita karir sekaligus aktivis, jadi nggak setiap hari bisa masak, apalagi masak menu lengkap. Kedua, saat TK hingga SD, aku biasa dibuatkan sarapan seadanya, misal nasi goreng, dan nasi putih lauk telur atau ikan.
Seiring berjalannya waktu, aku baru paham dengan dalamnya makna di balik masakan Ibu. Tentu saja dalam sudut pandang keluargaku yang setiap anggota keluarga punya kesibukan masing-masing.
Sehari-hari, Ibu sangat jarang masak. Tapi saat anak-anaknya kembali dari perantauan, Ibu--dan juga Bapak--selalu bertanya anak-anaknya mau dibuatkan masakan apa. Walaupun pada akhirnya makanan nggak jauh-jauh dari pindang ikan, sup tetelan sapi, cumi-cumi kuah hitam, atau rendang daging sapi.
Tentu saja cita rasa masakan Ibu enak-enak semua. Tapi lebih dari itu, apapun masakannya, bukan masalah rasa dan kemewahan. Setelah masukfase remaja akhir aku baru sadar bahwa kesejahteraan keluargaku membaik dari waktu ke waktu salah satunya dapat dilihat dari makanan.
Karena kemampuan ekonomi, dahulu Ibu jarang masak daging sapi, sekarang aku bisa makan sepuasnya saat Ibu memasak daging. Dahulu kalau menggoreng ikan lele, dipotong jadi tiga, sekarang aku bisa makan tiga lele sekaligus setiap ibu masak.
Saat ini, yang paling penting dari momen Ibu masak adalah makan bareng dan kumpul-kumpul. Karena anak-anak di keluarga kami semuanya perantau, kumpul di rumah hanya bisa dilakukan saat liburan. Itu pun ketika kami anak-anak berada di rumah, semua tetap punya kegiatan masing-masing sehingga nggak bisa makan bareng setiap hari.
Edisi aku pulang kali ini saja tiga dari lima anak pulang dalam waktu bersamaan; aku, Naila, dan Nahwan. Selama beberapa hari bersama-sama di Lampung, tiga anak punya aktivitas masing-masing, termasuk aku yang banyak bertemu teman-teman. Praktis di edisi pulang kali ini hanya sekali ada momen kumpul bersama tiga anak plus Bapak dan Ibu, yaitu beberapa hari lalu saat Ibu masak sup tetelan sapi.
Karena kelima anak merantau, saat ini keluarga kami sangat jarang bisa berkumpul dengan formasi lengkap lima anak beserta Bapak dan Ibu. Mungkin nggak lebih dari 14 hari dalam setahun kami bisa full-team pulang ke rumah di Lampung, dan hanya 7 hari bisa kumpul lengkap. Dari sedikit kesempatan kumpul keluarga, salah satunya saat makan bersama di rumah.
---
Ibuku bukan tipikal orang tua yang mengekspresikan rasa cinta dengan kata-kata dan kegiatan romantis. Tapi sekarang aku paham bahwa masakan Ibu adalah salah satu ekspresi rasa cinta yang nggak terucapkan. Rasa cinta untuk anak-anak, yang sekarang semuanya hidup jauh di perantauan.
Komentar
Posting Komentar