Rumah Tanpa Pintu Belakang

Umumnya, urutan lampu lalu lintas adalah searah jarum jam. Sederhananya: giliran kita melaju adalah setelah lalu lintas dari sebelah kanan kita. Aku  menyadari aturan umum ini setelah berjalan di berbagai kota. Bandung, Jakarta, Malang, Bandar Lampung, Banjarmasin, dan pastinya Jogja.

Tapi, kabupaten yang satu ini berbeda. Kabupaten ini punya urutan lampu lalu lintas melawan arah jarum jam. Giliran kita berjalan bukan setelah lalu lintas dari sebelah kanan, melainkan dari sebelah kiri kita. Kabupaten ini adalah Ponorogo.

Ponorogo, satu kabupaten di area plat AE yang beberapa kali aku kunjungi. Sebagian besar di antaranya untuk bertemu Mas Azaki, kakak sekaligus guru selama tujuh tahun belakangan. Sejak beberapa saat sebelum pandemi hingga selama pandemi berlangsung, Mas Azaki sekeluarga pindah dari Solo dan tinggal di kabupaten dengan cat trotoar berwarna biru-putih ini.

Ponorogo bukanlah tempat yang pertama aku kunjungi di area plat AE, tapi karena pertemuan-pertemuan dengan Mas Azaki, Ponorogo jadi yang paling sering aku singgahi di antara kabupaten/kota plat AE lainnya.

Pekan lalu, aku kembali mampir ke Ponorogo. Kali ini ke rumah baru Mas Azaki. Rumah unik dengan tembok depan tinggi sekitar dua meter, tanpa teralis dan tanpa celah. Dua mobil hatchback, plat AE dan AA, masing-masing dari angkatan '90an dan 2010an, terpakir rapi di halaman. Makin unik setelah masuk, karena langsung terlihat ruang tengah yang luas dan bagian belakang rumah yang tanpa pintu.

Di rumah ini, aku memulai percakapan yang tertunda. Percakapan pimpinan dan penerusnya, yang mestinya dilakukan jauh-jauh hari sesaat setelah serah-terima, sekitar sepertiga pertama April lalu. Total ada empat babak percakapan di Ponorogo. Satu babak percakapan di Sate Pak Tukri, dua babak percakapan di rumah, dan satu babak percakapan di Garang Asem Bu Parti Ngasinan.

Empat babak percakapan ini terjadi bukan hanya karena penundaan cukup lama. Melainkan juga disebabkan sudut pandang dan ilmu baru dari empat babak perjalanan yang aku tempuh selama empat hari sebelumnya. (Aku baru sadar angka serba empat, saat menulis paragraf ini)

Meski obrolan sangat intensif, bukan Nabhan namanya kalau tak memikirkan hal lain di saat bersamaan. Kebuntuan demi kebuntuan, kekhawatiran demi kekhawatiran, kesedihan demi kesedihan tetap terbayang. Berkali-kali seperti berada dalam rumah tanpa pintu belakang, yang hanya menyediakan pilihan: berdiam atau balik kanan lalu keluar lewat pintu depan.

----

Pagi-pagi, di hari kedua, tiba-tiba seekor burung masuk dan terperangkap. Tak ada jerat, namun terjebak ilusi jendela kaca di atas pintu depan. Tak berbeda dengan orang-orang yang menabrak pintu kaca di tempat-tempat umum hingga setiap pintu kaca harus dituliskan "awas kaca". Pintu di bawahnya terbuka lebar, tapi alih-alih memilih turun dan keluar melalui pintu, si burung justru terus-menerus mencoba menembus kaca.

Pertanyaannya, dari mana burung itu masuk?

Betul dari arah belakang rumah. Dari celah lebar di bagian belakang rumah. Seperti tembok yang dijebol namun sangat rapi, langsung mempertemukan bagian belakang bangunan rumah dengan halaman belakang.



Rumah tanpa pintu belakang ternyata tak buruk. Dengan sedikit penyesuaian, rumah tanpa pintu belakang memberi ruang untuk kandang ayam, mencuci dan jemur pakaian, camping keluarga, masak-masak kecil di malam tahun baru, atau sebatas menjadi opsi tambahan ruang taman selain di depan dan samping rumah.

Seperti rumah tanpa pintu belakang, perasaan buntu, khawatir, dan sedih mungkin jadi cara lain Semesta memberi pengalaman baru. Yang ternyata, seru juga untuk dijalani.

Komentar

Postingan Populer