Apakah Seorang Nabhan Pernah Capek?
Ahmad Hawari Jundullah, di rumah dipanggil Ari tapi di lingkaran pertemanan lebih akrab dipanggil Jundul. Dia ini kakak kelas, teman satu asrama, kawan main bola, senior, mentor cum kompetitor di Musywil, ketua umum pertamaku di IPM, teman jalan kaki 3 kilometer pergi-pulang dari Muallimin ke Sekretariat PP IPM, sekaligus salah satu teman berIPM ku yang paling lama.
Suatu saat di tahun 2015, ketika itu aku berboncengan dengan Jundul dari Kaliurang. Sependek ingatanku, saat itu IPM Jogja ada agenda PFP 1 di Kaliurang. Kala itu juga aku sebenarnya belum terlalu kenal Jundul secara pribadi. Tapi, justru ada obrolan sepanjang perjalanan 20 kilometer dari Kaliurang ke Kota Jogja.
Kira-kira begini celetukan Jundul, "Kamu pernah capek ngga, sih, Bhan? Kalo ngeliat kegiatanmu kok kaya ngga ada capeknya. Kaya Superman, nek aku ngga bisa gitu soalnya."
Obrolan tujuh tahun lalu itu, saat aku masih newbie di IPM level kota, jadi momen pertama aku berefleksi soal hal ini. Bahkan, setelah momen kecil itu sampai detik ini, aku berulang-kali bertanya pada diri sendiri. Semacam, "Emang kamu ngga capek ya ngejalanin ini semua?"
Tampang gue kala itu |
Apakah Seorang Nabhan Pernah Capek?
Jawaban dari pertanyaan di atas sebenarnya cukup clear. Iya, aku jelas pernah capek. Tapi panjang ceritanya. Karena sejak lama si bocah yang pecicilan ini kelihatan banyak banget kegiatannya, dan jadi berasa ngga ada capek-capeknya ini anak.
Pernah suatu masa bahkan aku berpekan-pekan sepanjang Senin sampai Jumat menghabiskan waktu di kampus dan lanjut sore-malam ke sekretariat IPM, baru bisa pulang jam 10 malam dan langsung tidur saking capeknya. Sabtu-Minggu lebih parah, karena pasti ada agenda, misal pekan pertama agenda PD IPM, pekan selanjutnya agenda Lembaga Media, pekan selanjutnya acara kampus, lalu selanjutnya kembali lagi ke agenda IPM. Benar-benar ngga ada waktu istirahat.
Makin ke sini, ya ngga separah itu, tapi juga 11-12. Suatu saat pernah harus ke Bandung dalam kondisi ngga fit habis divaksin, menggigil sepanjang malam di kereta, dan paginya mulai demam. Padahal siang dan sore hari ada pertemuan penting.
Saat yang lain, harus ke Ponorogo dengan agak buru-buru. Berangkat sore, menginap semalam, lalu pagi harus kembali ke Jogja. Belum lagi beberapa waktu lalu, dari Lombok harus ke Jogja, dini hari sampai ke Jogja, lalu sebelum berganti hari harus kembali ke Lombok lagi--padahal ngga ada pesawat langsung Lombok-Jogja dan sebaliknya.
Pernah juga dari Batam ke Padang. Sore hari sampai Padang. Lalu esok hari pagi-pagi harus melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Jadi benar-benar cuma menginap semalam di Padang.
Awal 2021 juga pernah tuh, abis dari Jakarta beberapa hari, lalu pulang nyetir mobil sewaan dan kurang istirahat. Jelang siang sampai Jogja. Pas baru sampai Jogja, bahkan belum sempat mengembalikan mobil sewaan, ditelpon untuk kembali ke Jakarta. Walhasil sore kembali ke Jakarta dan malam sudah sampai Jakarta lagi.
Yang ngga kalah bikin pusing, sebelum lebaran lalu aku kembali ke Lampung dengan jalan darat+udara. Kereta malam ke Jatinegara, lanjut Go-Ride ke Manggarai, lalu naik kereta api ke Bandara, dan terbang ke Lampung. Sampai rumah jam 9 pagi, setengah jam kemudian lanjut ke Tulang Bawang Barat (2,5 jam dari rumah) dan sorenya langsung kembali ke rumah. Di perjalanan kurang minum dan hanya sahur seadanya, sampai rumah dunia serasa berputar. Sudah buka puasa dan makan + minum yang manis tapi tetap puyeng. Setelah istirahat dan tidur, baru deh setelah itu mendingan.
Dengan rentetan perjalanan semacam itu, bukan berarti aku ngga capek. Edan po ngga ngerasain capek.... Aku juga capek kali
Tapi...
Aku punya kesadaran sejak sekitar kelas 3 MTs bahwa untuk hidup yang lebih baik, aku harus mencari tantangan dan melampaui batas-batas kemampuan diriku. Harus mau capek, harus berani capek, dan harus capek. Bukan keluar dari zona nyaman, tapi zona nyamanku adalah zona capek itu sendiri. Kenapa?
Coba deh sebutkan siapapun tokoh yang menurut kamu menginspirasi, mulai dari Mahatma Gandhi, Bunda Theressa, Cut Nyak Dien, Kamala Harris, Steve Jobs, Elon Musk, Warren Buffet, sampai Nabi Muhammad--atau siapapun idolamu. Aku bisa pastikan mereka semua bisa menginspirasi lewat jalan mereka masing-masing itu melalui perjuangan dan rasa capek yang luar biasa, berkelanjutan pula.
Mereka adalah bukti bahwa namanya mau hidup baik, ya harus mau capek. Bahkan capek jadi semacam rumus dasar buat hidup yang lebih baik. Walaupun ngga semua orang capek bisa sukses, tapi kalau kita mau capek itu udah jadi langkah awal yang baik untuk bisa sukses, minimal punya nasib yang lebih baik dibanding generasi pendahulu kita.
Lebih Dari Itu
Buat aku pribadi, berbagai urusan dan perjalanan jadi kesenanganku secara pribadi. Kemarin sempat ada satu pertanyaan reflektif ditujukan ke aku, "Mas Nabhan pernah ngga, sih, jalan-jalan sendiri misal ke mal atau nonton gitu?"
Jawabannya adalah enggak, dan aku baru sadar soal ini.
Kalau aku nonton, ya barengan sama teman-teman, ngga ada ceritanya nonton sendirian. Kalau aku ke mal atau belanja ya buat kebutuhanku aja, itu pun untuk belanja pakaian ngga lebih dari tiga kali setahun--dan sangat jarang belanja barang lucu-lucu. Kalau cari makan, ya senemunya aja yang dekat. Jadi, di mana aku bisa menghabiskan waktu sendirian? Paling banyak ya saat perjalanan, atau saat buka laptop dan tenggelam dalam beberapa urusan.
Selain itu, berbagai urusan juga bikin aku cepat lupa ke hal-hal yang mengecewakan tapi ngga penting-penting amat buat dipikirin. Misalnya sebel sama orang. Begitu aku sebel sama orang, ngga lama kemudian ada saja to-do list yang harus dikerjakan. Lebih baik pusing mikirin aktivitas ini daripada sebel sama orang, dong. Sering terjadi aku sebel sama orang dan segera memaafkan bahkan sebelum diminta, karena ngga sempat buat sebel lebih lama.
Bahkan untuk tingkat kekecewaan yang lebih tinggi, patah hati misalnya, perjalanan dan kesibukan juga sangat membantu. Kombinasi kedua hal ini pertama-tama bakal menjauhkan kita dari medsos yang bakal menambah patah hati. Selanjutnya bakal fokus pada hal yang penting buat dihadapi sekarang juga. Kemudian membuat diri kita yang rasional mendominasi. Yang akhirnya bakal membawa diri kita sepakat bahwa, "Ternyata ngegalauin dia ngga penting-penting amat, ya", "Aku juga bisa hidup tanpa dia", sampai "Yaudah sih, kalau ngga sama dia, masih banyak orang baik--bahkan lebih baik dari dia--di luar sana."
Kembali ke awal sub-bagian, yang paling utama soal kesenangan pribadi adalah aku senang bisa membantu orang. Karena bawaan pribadiku ngga cukup ramah, cenderung sok-sokan, asyik dengan duniaku sendiri dan mudah dicurigai, maka membantu orang adalah hal kecil yang bisa aku lakukan buat menjadi bersahabat dengan orang lain.
Berbagai urusan, kesibukan, dan perjalanan sebenarnya lebih banyak berefek secara langsung ke urusan orang banyak. Mungkin agenda yang bermanfaat, pengalaman baru, teman, atau materi. Kalau untuk aku, ya dampak ngga langsung berupa kesenangan pribadi itu. Bahkan, saking pinginnya aku membantu orang, sampai kadang-kadang aku lupa ngurusin diri sendiri. Tapi hop, tulisan ini sudah cukup panjang, next time aku bahas soal ini di tulisan lain, deh.
Yang Perlu Aku Sampaikan
Berkebalikan dari apa yang dikatakan Jundul di awal, aku manusia biasa. Masih tetap ada porsi untuk malas-malasan. Eh, tanpa disediakan porsi tertentu tetap auto malas-malasan, ding, hehe...
Ada saja momen di mana aku malas-malasan berjam-jam. Misal scroll medsos sejam lebih setelah bangun tidur, atau menunda berangkat mengerjakan berbagai urusan hanya karena pingin rebahan dulu aja--lalu tau-tau bablas ketiduran dua jam.
Terbaru, beberapa hari lalu aku sampai Jakarta dan menginap di Sekretariat PP IPM, daerah Menteng. Keesokan harinya, karena beberapa jadwal dan pertemuan belum jelas, aku hanya rebahan sepanjang pagi-sore. Pagi bangun, makan, ketiduran, siang makan, ngga lama kemudian tidur lagi, sempat kebangun tapi aku memilih tidur lagi sampai sore karena tahu aku sedang kurang bermalas-malasan beberapa pekan belakangan.
Lihat, betapa malasnya aku wkwkwk
Selain itu kalau di antara pembaca sekalian merasa aku sibuk dan mau menghubungi takut mengganggu, ngga perlu merasa seperti itu. Aku selalu mengusahakan ada waktu untuk balas chat, diskusi ringan, atau bahkan review tulisan, sampai nyimak cerita-cerita yang perlu disampaikan. Aku senang menerima berbagai kabar dari kalian dan intinya aku ngga sesibuk itu.
Aku terbuka untuk dihubungi siapapun dan kapanpun, yang, memang ngga selalu fast-response, tapi akan selalu ada waktu buat menanggapi. Dan sama sekali ngga mengganggu. Cuma, kalau itu perkara penting dan aku kok ngga balas-balas, mohon diingatkan, lebih sering karena lupa, bukan ngga mau balas, hehehe...
Jadi, ada waktunya aku memang capek fisik dan mental buat segala urusan. Tapi di saat bersamaan aku mendapat kebahagiaan yang besar dari urusan-urusanku setiap hari. Bahkan, rentetan hal yang bikin capek-lah yang menjadi alasanku untuk tidur nyenyak tiap malam dan bangun lagi di keesokan hari untuk melanjutkan hidup lagi dan lagi, setiap hari.
Komentar
Posting Komentar