Orang Indonesia Murah Hatinya Kebangetan

Suatu hari akhir November lalu, aku, Alvin (Ketum PW IPM Banten periode lalu), dan beberapa teman lain mampir makan di semacam food court bilangan Menteng, Jakarta. Saat itu Alvin berujar, "Orang Indonesia ini tingkat kepercayaannya sebenarnya tinggi banget. Contohnya, di banyak tempat kita bisa makan, bayarnya belakangan."

Ujaran Alvin ini, entah serius atau engga aku kira ada benarnya. Kemarin, bahkan aku dua kali bertemu dengan tingginya tingkat kepercayaan.

Makan Duluan, Bayar Belakangan

Jadi, sejak Sabtu sore aku di Malang. Kemarin pagi aku nongkrong di sebuah kafe, dengan sistem pembayaran makan dulu baru bayar belakangan. Waktu sudah mau geser, karena sudah pesan Gojek dan buru-buru, aku lupa bayar. Baru ingat waktu sudah mau naik motor. Tapi, ngga ada pegawainya yang mengingatkan. Aku pun izin sebentar ke mas-mas driver, lalu langsung kembali masuk ke kafe dan bayar, baru pergi.

Sistem pembayaran seperti ini umum banget di Indonesia. Mulai dari angkringan, hik, warteg, kantin sekolah/kampus, rumah makan, sampai kafe-kafe kekinian. Tentu kalau tempat-tempat makan yang berkelas pasti lebih ketat pengawasannya. Tapi sepanjang pengamatanku lebih banyak yang pengawasannya seadanya saja.

Pembayaran model makan duluan-bayar belakangan ini kan risikonya cukup tinggi buat penjual. Tapi kalau penjual-penjual kecil ditanya tentang persoalan ini, aku yakin seribu yakin pasti mereka ikhlas-ikhlas saja. Mereka percaya rejeki sudah ada jalannya, dan tetap lanjut dengan sistem pembayaran semacam ini.

Bersyukurnya, para pembeli juga sudah paham. Biasanya, sih, pelanggaran banyak terjadi di kantin sekolah, tapi seiring bertambahnya usia pasti pada sadar. Tanpa diawaasi pun namanya makan ya harus bayar.


Nggak Tegaan

Kembali ke cerita tadi, setelah dari kafe aku mau menuju RBC Institute, semacam rumah baca & kafe milik UMM. Sebelum itu aku sempatkan mampir ambil laundry. Konsekuensi dari perjalananku yang hanya bawa tas ransel kecil adalah harus rajin cuci baju, atau alternatifnya laundry kilat.

Sekarang ada tuh laundry koin, biasanya tarif berkisar 25-35 ribu per koin (kapasitas 4-6 kg). Beberapa waktu lalu di Bali dan Lombok aku pakai layanan laundry koin ini, di Malang pun aku ulangi. Namanya Laundromaxx, tarifnya 30 ribu untuk kapasitas 6 kg.

Iya, 6 kilogram. Padahal pakaian kotorku ngga sampai 1 kilogram. Tapi, apa boleh buat, karena butuh cepat ya sikat saja. Daripada aku ngga pake baju, kan? hahaha

Singkat cerita, saat aku bayar dan ambil laundry seperti ngga ada yang salah. Sampai malam harinya aku beres-beres dan buka plastik laundry, barulah aku sadar. Di atas nota ditempelkan uang 20 ribu, dua lembar sepuluh ribuan (bisa dilihat pada gambar di atas). Itu berarti aku hanya bayar 10 ribu! Padahal sudah jelas sistem laundry semacam ini harus bayar minimal satu koin, tanpa peduli sedikit-banyaknya pakaian yang di-laundry. Sepertinya Ibu-ibu laundry-nya ngga tega sama aku yang hanya ngelaundry beberapa helai pakaian tapi harus bayar 30 ribu.

Kisah-kisah semacam ini bukan hal asing di kehidupan orang Indonesia. Bayar parkir dan kurang uangnya, diikhlaskan. Makan di warung makan kecil dan penjual belum ada kembalian, pembeli diminta bawa dulu uangnya. Di minimarket yang sistemnya sudah baku banget pun hal-hal semacam ini masih bisa kita jumpai sekali-dua kali. Pastinya banyak lagi contoh-contoh lainnya.


Dua contoh cerita di atas jamak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun aku nggak tahu apakah ini hanya ada di Indonesia, atau memang kultur ketimuran, atau ada di seluruh dunia. Apapun itu, kebiasaan semacam ini menunjukkan rasa kemanusiaan dalam bentuk kemurahan hati yang masih lestari. Kebaikan dulu, rejeki akan datang sendiri. Sangat menarik sekaligus jadi modal sosial yang baik buat bangsa Indonesia.

Komentar

Postingan Populer