Doa dan Semangat untuk Sari

Kabupaten Majene-Kota Mamuju, Sulawesi Barat diguncang gempa bumi berkekuatan M 5,9 pada 14 Januari 2021 pukul 14.35 WITA dan M 6,3 sehari setelahnya pada pukul 02.28 WITA. Dua gempa besar tersebut sejauh ini memang “hanya” memakan korban sebanyak 84 jiwa. Jauh di bawah gempa Lombok 2018 (555 jiwa), gempa Jogja 2006 (lebih dari 6 ribu jiwa), dan sangat kecil dibanding gempa-tsunami Aceh 2004 (lebih dari 100 ribu jiwa di Indonesia dengan total lebih dari 200 ribu jiwa di 14 negara).

Tapi, bagi keluarga yang mengalami, kehilangan satu orang pun merupakan kehilangan yang sangat mendalam. Salah satu yang mengalami hal ini adalah alumni Mu’allimaat seangkatan denganku, Siti Auliasari Maharani, yang akrab dengan panggilan "Sari".

Sari bersama Ayah dan kedua adiknya pada pemakaman Ibundanya. Sumber: Instagram Auliasari


dr. Hj. Adriani Kadir & H. Salihi Saleh

Beberapa waktu lalu, Sari menyelesaikan studi S1 Ilmu Komunikasi UMY. Sidang pendadaran sudah digelar dan menunggu wisuda yang direncanakan bulan Maret mendatang. Sari pun masih tinggal di Jogja. Ketika gempa bumi pertama terjadi, Ibunda dari Sari, Hj. Adriani Kadir yang merupakan Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Sulawesi Barat selamat. Beliau pun masih dapat mengabarkan keadaan pada Sari, bahwa keluarga di Mamuju baik-baik saja.

Namun, kabar duka yang selalu ditakutkan anak rantau datang. Saat gempa kedua mengguncang, sang Ibunda yang baru selesai salat tahajud bersama Ayah tertimpa reruntuhan rumah sekaligus klinik berlantai 5 akibat gempa kedua. Beliau berdua sebenarnya ingin lari keluar, namun tidak sempat.

Masih terkait gempa kedua, sang Ayah, H. Salihi Saleh, Ketua BPH STIE Muhammadiyah Mamuju sekaligus Kepala Dinas PU Kota Mamuju selamat, namun mengalami cedera. Setelah masa duka dan prosesi pemakaman Ibunda, sang Ayah sempat ditangani oleh tim medis dan dirujuk ke Makassar, Sulawesi Selatan untuk penangan yang lebih baik.

Sayangnya, kabar duka kembali datang. Beberapa hari kemudian H. Salihi wafat karena dampak dari cedera yang tak dapat ditangani. Hanya enam hari setelah wafatnya sang Ibunda.

Ketokohan dan sepak terjang kedua orang tua Sari tidak diragukan. Muhammadiyah Sulawesi Barat pastinya kehilangan tokoh penting yang menggerakkan bidang dakwah serta pendidikan untuk kemajuan Sulawesi Barat. Karenanya doa untuk Ayah dan Ibunda Sari selalu mengalir dari aku sendiri maupun banyak pihak lain. Keluarga, teman, rekan kerja, Persyarikatan Muhammadiyah, dan tentunya bangsa Indonesia secara umum karena peristiwa ini dipublikasikan oleh beberapa portal berita nasional.

 

Doa dan Semangat untuk Sari

Namun, apa yang ada di benakku sekarang bukan sebatas kabar duka mangkatnya Hj. Adriani dan H. Salihi. Apa yang ada di benakku sekarang adalah apa yang dialami oleh Sari.

Sari adalah ketua angkatan setelah angkatan kami lulus. Kami berdua memang tak terlalu akrab dan intens berkomunikasi, tetapi beberapa kali bergabung dan berinteraksi dengan Sari. Baik secara langsung maupun melalui Instagram dan WA.

Siapapun yang berinteraksi dengan Sari, pasti setuju bahwa Sari adalah pribadi yang ramah, ceria, dan nggak bisa diam. Selalu asyik memantau aktivitas Sari di medsos maupun WA. Di medsos jugalah biasanya Sari memperlihatkan kedekatan dengan keluarga, Umi, dan Ayahnya ke orang banyak.

Sari yang sudah lebih dari 10 tahun merantau memang punya kedekatan luar biasa dengan kedua orang tua, terkhusus Ayahnya. Ayah yang sangat dekat dengan dirinya, yang dapat dilihat jelas saat sang Ayah menjadi tokoh utama story dan status-WA di momen-momen langka ketika mereka saling berjumpa.

Seingatku, beberapa waktu lalu aku dan Sari sempat menjalin komunikasi singkat via WA. Saat Sari sedang menemani ayahnya di Jogja karena keperluan dengan Majelis DIktilitbang PP Muhammadiyah. Pada saat yang berdekatan pula Sari sempat mengabarkan melalui Insta-story bahwa Ibunda tak bisa menyertai sang Ayah menuju Jogja karena sedang menangani pandemi yang membuat tenaga kesehatan kewalahan.

Maka kehilangan ini tentu kehilangan bukan kehilangan biasa. Kehilangan seorang anak rantau yang lama tak bertemu Umi karena pandemi, juga kehilangan Ayah yang sangat dekat dengan anak perempuannya.

Apalagi Sari adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kakak tertua dari adik-adiknya yang masing-masing baru selesai sidang pendadaran dan kuliah semester 5. Dari sosok anak yang sangat dekat dengan Ayahnya, kini Sari harus jadi kakak sekaligus pengganti orang tua bagi adik-adiknya. Jadi perwujudan nyata tuntutan dari banyak orang bahwa kakak pertama “bahunya harus sekuat baja, hatinya harus setegar karang”.

Semua beban itu datang dalam sekejap. Datang dalam waktu yang sangat tak terbayangkan bakal hadir.

 

Aku tentu tak akan pernah bisa memahami duka mendalam yang dirasakan keluarga dan pribadi Sari sendiri. Maka tulisan singkat ini semoga bisa jadi doa buat Sari.

Semoga terus kuat, jadi kakak yang baik bagi adik-adiknya, dan jadi penentu arah yang bijaksana bagi keluarga meski masih sangat muda. Kejadian ini pasti sangat mengubah hidup Sari, tapi aku percaya juga akan membawa banyak kebaikan di masa depan.

Aku mungkin juga tak akan pernah bisa memahami beban yang ditanggung Sari dalam waktu-waktu mendatang. Tapi yang aku pahami, Sari adalah sosok yang bersemangat dan berani menghadapi tantangan serta masa-masa sulit yang hadir silih-berganti. Semoga setelah ini momen untuk pulih dari bencana dan bangkit dari kesedihan segera hadir.

Sekali lagi, semangat untuk Sari.

Komentar

Postingan Populer