Dan Di Sinilah Aku Sekarang

63 hari lalu, aku meninggalkan Jogja. Menuju Surabaya, kemudian transit di Lombok, menempuh durasi total perjalanan selama 4 hari sebelum sampai di lokasi KKN.

Perjalanan menuju Pelabuhan Kayangan, Lombok

Sebenarnya, aku merasa sudah cukup banyak membahas tentang KKN. Kalau tertarik, para pembaca tulisan ini bisa menuju akun Instagramku, menengok highlight story dan menikmati beberapa cerita. Selain itu, versi lengkap dari cerita-cerita tersebut segera aku olah menjadi buku. Selebihnya, di tulisan ini aku ingin bercerita kesan pribadi dari perubahan yang aku rasakan. Sejak sebelum, saat pelaksanaan, dan setelahnya hingga sekarang.


Agenda Tanpa Putus

Sebelum KKN, aku adalah Naban dengan seabrek tanggungan. Belasan urusan dari berbagai sumber berbeda. Kuliah, organisasi kampus, organisasi di luar kampus, sampai tanggungan di tempat tinggalku, Gedung PCM Wirobrajan.

Semua urusan ini kemudian menghasilkan 30-50 pesan dalam ruang obrolan WA per hari. Pagi hari ada 20 obrolan masuk, sampai sore ada terus, malam hari tambah ramai. Baru sepi setelah jam 11 malam. Dan nggak cukup sampai di situ.

Aktivitas harianku di dunia nyata juga selalu penuh. Senin-Jumat hanya diisi sedikit kuliah sebenarnya, namun disertai kegiatan-kegiatan macam rapat, pertemuan, janji, urusan keuangan, ragam perencanaan sampai perjalanan ke luar kota. Ada-ada saja, deh, pokoknya. Menghasilkan agenda yang seakan tanpa putus. Pagi hingga malam, 7 hari dalam sepekan.

Tentunya juga ada urusan pribadi. Pertemanan, keluarga, juga perasaan dan hati. Untuk yang tersebut terakhir, sudah dibangun perlahan sebelum KKN, aku rawat, aku jaga, aku selami baik-baik hingga membentuk kesepahaman yang nggak kalah baik. Kemudian semua harus kutinggalkan. Tentu sembari berharap semoga semua baik-baik saja.


Hidup yang Benar-benar Berbeda

Setelahnya, masa KKN datang. Dalam perjalanan berangkat, aku harus mengabaikan puluhan pesan WA. Menyelesaikan segala urusan sesegera mungkin. Membereskan janji dan persoalan keuangan. Kemudian urusan-urusan yang ada kulimpahkan kepada teman-teman dalam organisasi. Karena lokasi KKN-ku, Desa Poleonro di jantung kepulauan tengah sana tidak ada jaringan seluler.

Ketika di Jogja, bisa dibilang aku selalu aktif, non-stop setiap hari. Berurusan dengan hal-hal dalam lingkup luas, sangat luas hingga sampai skala nasional. Kemudian di lokasi KKN menjadi terfokus dalam urusan-urusan dalam lingkup kecil. Mulai dari briefing tim, merencanakan program, pinjam sepeda motor tetangga, komunikasi dengan Pak Dusun, janjian dengan perangkat desa, membantu pihak-pihak terkait program. Semuanya dilakukan dalam lingkup Pulau Sailus Kecil yang nggak lebih luas dari Kecamatan Kotagede di Kota Yogyakarta.

Pertama kali sampai di Sailus. Sehari sebelum sampai Poleonro


Pokoknya, aku dengan segala sepak-terjang dan keaktifanku hanya berarti di Jogja, atau minimal saat ada jaringan seluler. Di Poleonro sana, aku bukan siapa-siapa. Teman-teman dan warga setempat tentu memandang Naban bukan seperti Naban dalam keseharian di Jogja. Naban ya tentang apa yang terkait dengan program, kerja sama, komunikasi, dan aktivitas selama KKN.

Di sana juga sama sekali nggak ada sinyal. Nggak ada ceritanya obrolan WA, menyukai foto Instagram, berbalas mention di Twitter, atau mengunduh aplikasi di Play Store. Benar-benar hilang kontak. Bukan sekadar nggak ikut acara-acara di Jogja/Jakarta tetapi juga sama sekali nggak tahu apa-apa tentang itu semua. Memang, sesekali bisa ke Sailus untuk mengakses internet, tapi itu cuma sedikit berarti. Terang saja, kesempatan mengakses internet hanya 12 jam dari 1.152 jam waktuku selama kehilangan sinyal.

Urusan pribadi sama parahnya. Keluarga nggak tahu kabarku, aku juga nggak tahu seberapa jauh perkembangan adik-adikku di Jogja. Teman-teman yang biasa berinteraksi juga sama sekali hilang komunikasi.

Bagaimana dengan hati?
Dengan segala keadaan yang mengiringi keberangkatan, dalam urusan ini aku cuma bisa berharap. Menitip salam lewat angin yang berhembus meninggalkan pulau. Berbisik pada surya saat senja. Bertanya-tanya pada purnama. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, tanpa tahu apa yang akan terjadi.


Dan Di Sinilah Aku

Setelah puluhan hari berlalu, aku kembali, dengan kulit makin menghitam. Kenangan selama KKN yang sudah tertinggal jauh di belakang. Baru kemudian sinyal seluler mulai muncul di dekat Calabai, bagian dari Pulau Sumbawa, NTB. Lebih dari 100 obrolan WA yang masuk pada saat itu, dengan total pesan mencapai jumlah 6.000-an. Kemudian komunikasi perlahan-lahan pulih, Aku balas satu per satu, setahap demi setahap. Nggak lupa memastikan nomor hpku masih dalam masa aktif. Perjalanan dilanjutkan, ke Lombok melalui Sumbawa, menyambung ke Surabaya, hingga sampai ke Jogja. Dan kembali ke kehidupan nyata.

Senja di Poleonro

Iya, aku kembali. Tetapi keadaan nggak sesederhana itu. Banyak yang berubah. Jadi berasa nggak sama lagi dengan waktu sebelum berangkat KKN, tuh lho. Nggak sekejap mata bisa kembali seperti semula. Karena memang banyak perjumpaan aku lewati. Banyak pesan di grup maupun obrolan pribadi yang aku lewatkan. Aku juga absen dari rapat dan agenda-agenda besar. Hanya berkutat di Sailus-Poleonro selama 48 hari kehilangan akses internet.

Kuliah juga sama saja. Setelah KKN aku bertemu dengan jadwal kuliah yang sama sekali berbeda. Semester lalu begitu sepi dengan hanya 4 hari kuliah, sementara semester ini jadwal berubah drastis. Kuliahku memakai sistem blok. Masuk full Senin-Jumat dengan Sabtu seringkali diisi dengan survey lapangan. Begitu terus hingga Maret tahun depan.


***

Dan di sinilah aku sekarang. Menghabiskan pagi hingga sore di dalam kelas, larut dalam pengerjaan tugas. Membangun kembali kehidupan nyata, memulihkan kembali relasi yang meredup saat aku menghilang.

Juga memberi waktu bagi hati, untuk berkompromi dengan semesta. Sembari bertanya-tanya, apa yang akan terjadi?

Semoga, semua baik-baik saja. Semoga.

Komentar

Postingan Populer