Ada yang Salah dengan Ramadan Kita
Kita sudah paham semua, bahwa Ramadan ditujukan untuk
meningkatkan ketakwaan. Kita diarahkan untuk lebih rajin beribadah, terutama
puasa Ramadan. Juga membiasakan amalan sunnah dan amal saleh. Semisal tarawih,
membaca kitab suci Alquran, sedekah, sampai ragam amal sosial.
Nah, terkait Ramadan, beberapa tahun terakhir ini aku
selalu memperhatikan. Di bulan Ramadan, ada budaya yang terus tumbuh di
Indonesia. Ragam budaya ini kalau dipikir-pikir nggak semestinya ada di bulan
Ramadan.
Contohnya, di awal sampai tengah Ramadan kita
disibukkan dengan buka bersama. Nggak ada yang salah, sih, dengan buber. Tapi
kan ya jadi masalah ketika kita buber (yang hukumnya mubah) terus malah lupa sama
ibadah yang lebih utama, seperti salat tarawih atau malah salat maghrib dan
isya’. Duh. Padahal kita bisa ketemu sampai 10 buber di setiap Ramadan, kan?
Atau malah lebih? Hehehe
Berlanjut ke akhir akhir Ramadan, yang ramai adalah
mall, pasar, dan pusat perbelanjaan. Karena kita terbiasa menganggap Idulfitri
sebagai hari raya paling bergengsi di dalam Islam. Kita terbiasa untuk lebaran
dengan pakaian terbaik, kalau baru lebih afdhal.
Juga perlu masak besar yang paling enak. Kalau bisa Idulfitri ini jadi momen
kita merasakan makanan paling enak dalam setahun. Padahal nggak gitu juga lho.
Esensi dari Idulfitri ya justru di Ramadan itu. Kalau
kita nggak menjalankan Ramadan dengan baik, ya bisa dibilang percuma
Idulfitri-nya. Idulfitri kan sunnah, sedangkan puasa Ramadan itu wajib.
Idulfitri menurutku sekadar simbol, bahwa kita sudah beribadah, berbuat
kebaikan, sehingga melepaskan diri dari dosa selama Ramadan.
Tapi, ya, pada akhirnya nggak ada salahnya belanja ke
mall dan menyiapkan yang terbaik untuk Idulfitri. Yang jadi masalah itu kalau
kemudian menjadikan nilai-nilai Ramadan kita terganggu. Masjid makin sepi, lupa
tarawih, pokoknya kualitas ketakwaan bukannya naik tapi malah turun.
Yang paling parah nih, inti dari bulan Ramadan itu
kan puasa wajib 30 hari. Melatih kita untuk memahami pentingnya merasa lapar,
pentingnya berempati untuk orang-orang yang kelaparan, juga pentingnya
bertindak sederhana. Bukan malah puasa di siang hari tapi di malam hari sampai
fajar melampiaskan keinginan makan tanpa terkendali. Sedihnya lagi, ini, nih
yang banyak terjadi di sekitar kita.
Nggak heran, banyak dari kita yang saat Ramadan puasa
sebulan penuh. Tapi setelah lebaran malah gendutan. Nah, lo.
**
Yap, mungkin ada yang salah dengan Ramadan kita. Tapi
jangan kuatir, seperti halnya Ramadan yang bisa jadi pelajaran untuk
bulan-bulan lainnya, kita juga bisa menjadikan bulan-bulan setelah Ramadan jadi
pelajaran. Untuk menghadapi Ramadan tahun depan.
Yuk, sama-sama belajar dari Ramadan kita :)
---
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Milenialis.id pada 5 Juni 2019. Telah diolah dengan beberapa penyuntingan.
Komentar
Posting Komentar