Pemilih Pemula, Swing Voters, Penentu Hasil
Pemilih
Pemula, Swing voters, Penentu Hasil
Dalam dinamika politik
terutama Pemilihan Presiden (Pilpres) di negara manapun ‒khususnya Indonesia‒
selalu ada pemilih yang tergolong swing
voters (pemilih mengambang), yaitu pemilih yang bukan merupakan simpatisan
ataupun aktivis kandidat tertentu. Jamak terjadi swing voters bertindak sebagai penentu kandidat pemenang dari suatu
Pilpres karena hak suara dari swing
voters memiliki proporsi yang cukup banyak dari total pemilih. Siapakah
bagian terbesar dari swing voters?
Ya, benar. Pemilih Pemula.
Pemilih Pemula dalam
sistem Pemilihan Umum di Indonesia merupakan Warga Negara Indonesia yang
berusia 17-21 tahun karena di segmen usia inilah Warga Negara Indonesia pertama
kali sepanjang hayatnya merasakan berpartisipasi untuk menyalurkan hak suaranya
di Pemilihan Umum (Pemilu), pemilih pemula kerap disebut merupakan bagian dari swing voters karena mayoritas dari
pemilih pemula adalah pemilih yang belum menentukan pilihan atau bahkan bingung
dalam menentukan pilihannya.
Pemilih pemula
merupakan penentu hasil Pilpres 2014 ‒jumlahnya yang berkisar 24 juta pemilih
merupakan 30,8% dari persentase total swing
voters di Pilpres 2014‒ dimana persentase swing voters melebihi 40% dari persentase total pemilih Pilpres
2014 (LSI, 2014). Sementara itu, selisih dari pemilih yang sudah menentukan
pilihan hanya berkisar 5-10% antara pemilih suatu kandidat dan kandidat
lainnya. Hal ini menunjukkan signifikannya pertambahan suara suatu kandidat
jika dapat mengeruk banyak suara dari segmen swing voters terutama “potongan besar” dari swing voters, yaitu segmen pemilih pemula.
Pemilih pemula adalah
pemilih dengan rasa antusias paling besar dalam menyambut pemilu terutama Pilpres,
terbukti 92,8 persen dari Warga Negara Indonesia berusia pemilih pemula berniat
menyalurkan hak suaranya dalam pemilu, hal itu merupakan merupakan persentase
paling besar dibanding segmen usia lain (Kompas, 2014), selain itu jumlah
pemilih dalam segmen pemilih pemula mencapai 24 juta pemilih dari kisaran 186
juta total pemilih (Antara, 2014) merupakan jumlah yang sangat banyak dan
sangat mungkin menjadi penentu pemenang Pilpres. Namun, pada umumnya pemilih
pemula dalam menentukan pilihan adalah sekedar memilih karena keterpaksaan,
memilih hanya karena tertarik akan kampanye-kampanye yang dilancarkan, ataupun
memilih karena mengikuti pilihan orangtua, keluarga, dan lingkungan pertemanan,
padahal inilah yang membuat pemilih pemula dianggap “asal pilih” oleh banyak
kalangan.
Bagi pihak kandidat
dalam Pilpres, posisi pemilih pemula yang cenderung masih bingung dalam
menentukan pilihan adalah suatu “harta karun” karena dengan posisi pemilih
pemula yang belum menentukan pilihan, ditambah lagi dengan kemudahan dalam
memikat pemilih dengan model tersebut, kampanye yang mereka lakukan pun menjadi
lebih ringan dan lebih tepat guna.
Jumlah yang banyak,
rasa antusias yang besar; pemilih pemula merupakan segmen pemilih penentu hasil
Pilpres tetapi cenderung tidak memahami bagaimana menyikapi pengalaman pertama
yang akan mereka lakoni dan juga cenderung diremehkan keberadaannya oleh banyak
pihak.
Untuk itu, dalam Pilpres
2014 pemilih pemula harus jauh lebih cerdas, kritis, mandiri, dan independen
dibanding pihak lain karena minimnya pengalaman mereka dan juga karena hanya
ada 2 kandidat di dalam Pilpres 2014 yang menuntut para pemilih untuk lebih mendalami
setiap jengkal dari semua kandidat, terlebih lagi pemilih pemula. Selain itu,
kesemua itu harus dilakukan oleh para pemilih pemula agar memutar balikkan
keremeh-temehan oleh banyak pihak, mematahkan anggapan bahwa pemilih pemula
adalah pemilih pragmatis dengan “asal pilih”nya, juga menghilangkan anggapan
bahwa mendapatkan suara dari segmen pemilih pemula adalah mudah, “semudah
menawarkan permen kepada anak balita”.
Pemilih pemula harus
bertindak cerdas dalam menentukan pilihan, mereka harus bisa memahami
luar-dalam kedua kandidat agar benar-benar yakin atas pilihannya. Untuk
menentukan pilihan dengan benar serta yakin atas pilihannya, pemilih pemula
harus sadar akan kewajibannya sebagai warga negara, yaitu salah satunya dengan
menyalurkan hak pilih dengan benar dan sungguh-sungguh. Sebagai perwujudan dari
hal tersebut adalah dengan mencari tahu tentang kedua kandidat dari banyak
sumber riil, jika mereka hanya berkutat di layar televisi ataupun menu Blackberry
Messanger, pemilih pemula hanya akan mengerti sudut pandang penuh muatan
politis dari tim sukses maupun “Pasukan Nasi Bungkus” masing-masing kandidat
tanpa benar-benar mengerti visi-misi yang dibawa kandidat dan fakta tentang
latar belakang kandidat.
Oleh sebab itu, untuk
menilai kesemua kandidat para pemilih pemula harus bisa mengabaikan kampanye-kampanye
yang sekedar dilancarkan melalui layar televisi juga broadcast message –dan semacamnya. Pemilih pemula, walaupun hanya
bisa menggunakan media sebagai sumber pengetahuan tentang kandidat Pilpres
2014, tapi mereka bisa mencari informasi maupun data melalui media yang netral
seperti di beberapa akun media sosial, dan kemudian membandingkan dengan apa
yang diblow-up secara resmi oleh tim
sukses para kandidat di situs mereka. Dari situlah para pemilih pemula bisa
secara cerdas menentukan pilihan.
Kemudian, para pemilih
pemula harus menjadi pemilih yang kritis dalam menilai segala aspek dari semua
kandidat. Para pemilih pemula haruslah memahami kekurangan maupun kelebihan
masing-masing kandidat dengan baik. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan
memperhatikan baik visi-misi maupun latar belakang setiap kandidat, background politik yang mem-backing masing-masing dari mereka,
pengalaman para kandidat dalam memimpin, prestasi para kandidat dalam
kepemimpinannya, dan bahkan kasus-kasus dimana para kandidat tersebut dicurigai
terlibat pun sama pentingnya untuk diperhatikan. Untuk memahami hal-hal
tersebut, para pemilih pemula harus membandingkan dengan baik antara kampanye
positif maupun kampanye hitam dan kampanye negatif yang tersebar luas ‒mana
yang harus dijadikan acuan dan mana yang harus diabaikan.
Dalam penilaian tentang
kampanye positif, para pemilih pemula haruslah mencermati visi-misi yang dibawa
oleh setiap kandidat, bukan justru konten dalam kampanye yang jamak sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan visi-misi kandidat. Khusus dalam Pilpres menjadi
hal yang sangat urgent untuk
diperhatikan oleh para pemilih pemula, karena presiden terpilih pastinya akan
memiliki gaya kepemimpinan dan langkah politik tersendiri dan besar peluangnya
langkah politik dan gaya kepemimpinan presiden terpilih akan berbeda dengan
partainya. Kemudian, perihal kampanye hitam (konten bernada negatif tentang
suatu pihak, berisi fitnah dan kebohongan), para pemilih pemula harus bisa
menilainya dengan baik dan tidak menjadikannya sebagai acuan. Namun, lain
halnya dengan kampanye negatif (konten bernada negatif tentang suatu pihak,
namun jelas dan sesuai fakta), para pemilih pemula justru bisa memanfaatkannya
dengan baik sebagai suatu acuan untuk menilai kekurangan para kandidat. Jika
pemilih pemula bisa kritis dalam menilai seetiap kandidat melalui bermacam
jenis kampanye tentang para kandidat dengan baik, pilihan yang tepat pun akan
datang dengan sendirinya.
Para pemilih pemula
dituntut untuk bisa cerdas dan kritis dalam menghadapi usaha-usaha dari pihak
para kandidat maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan, namun di sisi lain
posisi pemilih pemula yang rata-rata masih hidup bersama orangtua maupun
keluarganya membuat para pemilih pemula cukup kesulitan untuk memenuhi kriteria
cerdas dan kritis. Oleh karena itu, para pemilih pemula haruslah mandiri dalam
menentukan pilihan dan bagaimana cara-cara yang akan dilalui.
Keluarga dari pemilih
pemula yang notabene sudah merasakan beberapa pemilihan umum baik legislatif
maupun eksekutif dapat dipastikan sudah memiliki pendirian politik (dalam hal
ini pilihan dalam Pileg maupun Pilpres) yang tetap, selain itu anggota keluarga
yang sudah menetapkan pilihan pastilah berusaha mengajak anggota keluarga lain
terutama yang termasuk pemilih pemula untuk menyamakan pilihan, hal tersebutlah
yang membuat pilihan dari para pemilih pemula kerap pragmatis. Oleh sebab itu,
untuk mencadi cerdas dan kritis para pemilih pemula mencari idealismenya
sendiri dengan tidak begitu saja mengikuti pilihan dari teman, sahabat,
lingkungan rumah, atau bahkan keluarga dekat. Hal itu semata-mata agar para
pemilih pemula bisa menentukan pilihan dan cara-caranya tanpa terpengaruh oleh
pilihan orang lain di sekitarnya.
Ada hal penting lain
yang menentukan kecerdasan, kekritisan, dan kemandirian pemilih pemula dalam menentukan
pilihan yaitu independen, netralitas. Pemilih pemula yang pada umumnya memiliki
banyak relasi di lingkungan pertemanannya pasti mudah terpengaruh oleh orang
lain yang telah menetapkan pilihan dan juga menjadi simpatisan dari suatu
kandidat, dan cukup banyak pemilih pemula yang mengikuti langkah orang-orang di
sekeliling mereka menjadi simpatisan dan memihak satu dari sekian kandidat yang
ada.
Menilik posisi pemilih
pemuda yang minim pengalaman, memihak suatu kandidat secara langsung dalam
pengalaman pertama bukanlah pilihan yang baik. Selain kekurangan pengalaman,
kondisi psikis pemilih pemula membuat mereka cenderung berpikir pendek untuk
menentukan sesuatu. Padahal, dengan posisi mereka sebagai pencari pengalaman,
lebih baik jika mereka mengeruk pengalaman dari posisi netral, mendikte
situasi, dan mencari sendiri cara yang baik dan cocok untuk menentukan pilihan
ketimbang sekedar mendukung suatu pihak karena pengaruh orang lain.
Dalam Pilpres 2014 kali
ini, hanya ada 2 pasangan kandidat Capres-Cawapres yang bersaing, yaitu Prabowo
Subianto – Hatta Rajasa (No. Urut 1) dan Joko Widodo – Jusuf Kalla (No. Urut 2).
Melihat peta politik teraktual, persaingan antara kedua pasangan kandidat ini
cukup ketat dimana elektabilitas Prabowo Subianto yang sebelum Pileg lalu
tertinggal lebih dari 20% dari Joko Widodo saat ini semakin menipis jaraknya
menjadi kurang dari 10%. Dengan persentase pemilih pemula, persentase swing voters, dan persentase pemilih
pemula di dalam bagian swing voters
yang telah disebutkan di awal narasi selisih elektabilitas dibawah 10%
merupakan hal yang amat mungkin ditembus oleh kandidat yang dianggap underdog jika dapat mengeruk mayoritas
suara dari segmen pemilih pemula. Pun begitu dengan kandidat yang berada di atas
angin akan semakin mengukuhkan posisinya jika dapat menggaet mayoritas suara
dari segmen pemilih pemula. Posisi pemilih pemula pun semakin krusial.
Dalam Pilpres 2014 kali
ini, hanya ada 2 pasangan kandidat Capres-Cawapres yang bersaing, yaitu Prabowo
Subianto – Hatta Rajasa (No. Urut 1) dan Joko Widodo – Jusuf Kalla (No. Urut
2). Secara umum kita dapat menilai perbedaan kedua kandidat; pasangan pertama
berlatar belakang militer – ekonom, sementara pasangan kedua berlatar belakang
sipil – pengusaha. Pasangan pertama salah satu kandidatnya pernah merasakan
duduk di kursi pemerintahan, sementara pasangan kedua seluruh kandidatnya
pernah merasakan duduk di kursi pemerintahan. Pasangan pertama disokong pihak
yang kalah di Pileg tetapi memiliki persentase total suara koalisi yang tinggi,
sementara pasangan kedua didukung pihak pemenang di Pileg tetapi memiliki
persentase total suara koalisi yang rendah. Pasangan pertama didukung
partai-partai berplatform nasionalis-agamis, sementara partai kedua didukung
partai-partai berplatform nasionalis-reformis. Pasangan pertama berkesan tegas,
sementara pasangan kedua berkesan sederhana. Secara umum demikianlah
perbedaan-perbedaan antar pasangan, dan jika terpilih nanti ‒berdasarkan
perbedaan-perbedaan tersebut‒ pastilah kedua pasangan memiliki gaya
kepemimpinan yang berbeda dan akan menghasilkan masa depan negara yang berbeda
pula. Dan kembali lagi, semua itu ditentukan oleh hasil akhir Pilpres 2014 yang
sangat bergantung kepada sikap pemilih pemula dalam Pilpres 9 Juli mendatang.
Akhirnya, jika ada
pertanyaan tentang pemenang Pilpres 2014 dan masa depan kepemimpinan Negara
Indonesia, jawabannya dipastikan bergantung pada kecerdasan, kekritisan,
kemandirian, dan keindependenan para pemilih pemula meyikapi “pengalaman
pertama mereka”.
Komentar
Posting Komentar