Tangisan Keras di Pesawat

Pada penerbangan kemarin pagi, ada satu anak balita yang antusias menyambut penerbangan. Tidak berhenti berceloteh sejak masuk pesawat. Banyak bertanya dan antusias melihat pemandangan.
Lalu saat penerbangan, plot-twist. Persis setelah pesawat Airbus A-320 take-off, ia menangis tanpa henti. Hanya berhenti sejenak ketika diajak sang ibu ke toilet. Setelahnya, tangisan makin menjadi, ia minta digendong, tapi saat digendong tetap saja menangis.


Beberapa penumpang sampai terganggu, apalagi ini perjalanan pagi dan tentu saja banyak orang masih mengantuk. Dulu aku juga begitu, sewot ketika ada anak kecil menangis dalam pesawat, kereta api, ataupun bus. Tapi sekarang aku lebih bisa menerima.

Karena mungkin telinga si adik sakit akibat perbedaan tekanan udara. Mungkin, ia takut ketinggian. Mungkin juga panik dan merasa tidak nyaman. Mungkin menangis karena berulang kali merasakan "butterfly in her stomach" yang sangat wajar terjadi saat penerbangan.

Atau mungkin, baru pertama kali terbang. Namanya pengalaman pertama, selalu seru sekaligus menakutkan. Selalu ada hal-hal nggak terduga mungkin terjadi.

Soal pengalaman perjalanan pertama, aku jadi ingat perjalanan jauh pertamaku. Dua puluh tiga tahun silam, saat itu usiaku 3 tahun, kami sekeluarga menuju Jogja dengan bus.

Saat sampai di kapal, aku muntah-muntah. Lalu saat perjalanan harus lewat jalur tengah Jawa yang berliku, aku kembali muntah. Saat masuk Purworejo, aku dan Mbak Nadiya tanpa henti bertanya setengah protes, "Kok nggak sampai-sampai, sih"

Bukan perjalanan yang menyenangkan pastinya. Bagiku maupun bagi orang tuaku. Sama dengan si anak kecil di awal ceritaku.

Tapi siapa sangka, pengalaman perjalanan pertama yang buruk justru membuatku sangat menyukai perjalanan. Sembilan tahun setelahnya ketika ke Jogja untuk tes masuk pondok, aku begitu antusias dan nyaris nggak tidur semalaman. Asyik memperhatikan jalan.

Tahun 2010 ketika pertama kali naik kereta api Jogja-Solo, menjadi momen di mana aku sangat ingin sekali naik kereta api jarak jauh. Impian kecil yang baru terwujud tahun 2017, ketika naik kereta ekonomi tegak dari Jogja ke Jakarta. Begitu melelahkan tapi aku sangat senang.

Setelahnya, aku makin sering pergi dengan berbagai moda transportasi. Cukup sering, sampai-sampai beberapa orang menyebut aku seperti hantu. Hari ini di satu kota, besok pindah ke kota lain, sesekali ada di pulau atau negara lain, tahu-tahu sudah muncul lagi di Jogja.

Yang jelas, pengalaman-pengalamanku soal perjalanan membuat aku lebih paham soal batas-batas diri sendiri. Termasuk memahami hal kecil semacam kendaraan mana yang paling nyaman buatku. Pertama, kereta api. Kedua, bus. Ketiga, kapal laut. Keempat, pesawat terbang. Meski begitu, aku suka perjalanan, apapun moda transportasinya.

Kembali ke mabuk perjalanan, alhamdulillah-nya, saat ini hampir nggak pernah aku rasakan. Bahkan aku yakin toleransi tubuhku soal mabuk perjalanan cukup tinggi. Ketika umumnya orang-orang pusing dalam perjalanan, aku bisa dengan nyaman membaca buku dalam kereta. Juga betah-betah saja main hp dalam bus.

Termasuk ketika naik kereta gantung, di Malaysia tahun lalu dan di Vietnam baru-baru ini. Keduanya sama-sama menyeramkan karena jalurnya curam. Tapi aku berhasil melalui dengan baik, tanpa pusing, tanpa panik, dan tanpa pusing.

Jadi, dalam hati aku bilang kepada adik kecil saat menangis kemarin pagi, "Menangislah yang keras. Tidak usah pedulikan orang-orang yang merasa terganggu, namanya juga anak kecil, sangat wajar kamu menangis."

Siapa tahu, kamu benci perjalanan kemarin, tapi esok saat sudah besar kamu justru jatuh cinta dengan perjalanan.

Siapa tahu, esok kamu justru akan menghabiskan banyak waktumu dalam perjalanan. Dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, dari benua ke benua.

Siapa tahu, tangisanmu kemarin adalah cara alam untuk mengantarkanmu pada senyuman dan seringai bahagia dalam pengalaman dan perjalananmu selanjutnya.

Komentar

Postingan Populer