Mengejar Kegagalan

Belakangan ini aku lagi banyak-banyaknya menjalani kegagalan. Gagal jadi Ketua Umum PP IPM. Gagal sidang Januari. Gagal di beberapa rencana kegiatan. Gagal bikin konten viral. Gagal masukin artikel ke page 1 Google. Gagal membantu-merekomendasikan teman. Tulisan di media nasional ditolak. Cinta ditolak. To-do List penting ngga terlaksana. Dan masih banyak lagi daftar kegagalanku.

Tapi sebaliknya, aku juga punya beragam keberhasilan. Berhasil nulis puluhan tulisan. Berhasil ikut membangun IBTimes. Berhasil jadi CEO Milenialis. Berhasil beberapa kali bikin twit ratusan likes. Berhasil bikin reels ribuan views. Berhasil punya penghasilan. Berhasil juara lomba menulis nasional. Berhasil lulus dan wisuda offline. Berhasil masuk PP IPM. Berhasil bikin TMU. Dan banyak keberhasilan besar maupun kecil lainnya.

Terus, apa yang membedakan serentetan kegagalan dan keberhasilan tersebut? Kalau diperhatikan, sekilas kegagalan dan keberhasilan di atas biasa saja. Tetapi asal kamu tahu, keberhasilan-keberhasilan yang ada adalah hasil dari rentetan kegagalan dan penolakan di baliknya. Sementara kegagalan-kegagalan di paragraf pertama hanyalah peristiwa-peristiwa kecil bagian dari proses yang lebih besar. Persis seperti keseluruhan maksud dari tulisan ini.


Manusia itu secara alamiah takut gagal dan benci merasa bodoh. Makanya kita inginnya berhasil terus. Nggak pernah mau gagal.

Sayangnya, apa yang diinginkan manusia dengan realita itu berbeda. Dalam dunia kita ini, kegagalan adalah komposisi yang wajib ada jika kita ingin berhasil. Coba perhatikan orang-orang keren, yang keren betulan, atau keren dalam skala-skala kecil versimu. Aku bisa jamin mereka pasti pernah jatuh-bangun dan mengalami kegagalan. Atau yang paling dekat dengan kita, deh, misalnya orang tua atau keluarga kita yang kita anggap sukses. Mereka semua pasti pernah gagal.

Bahkan, orang-orang yang sukses karena memang mendapat privilege keluarga kaya raya, misal Raditya Dika, Putri Tanjung, atau Angela Tanoesoedibjo. Mereka pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya. Meski kita yang memantau dari jauh melihat hidup mereka mulus-mulus saja.

Karena perenungan-perenungan di atas sepanjang Juni kemarin, aku jadi mau belajar buat mengejar kegagalan saja, bukan keberhasilan. Jadi, sekarang daripada membayangkan kesuksesan, lebih baik aku mencoba melakukan sesuatu. Menjadi lebih berani, sekaligus lebih minim ekspektasi.

Aku tau aku bakal gagal. Aku sadar aku bakal menerima penolakan. Aku paham jalan menuju keberhasilan itu panjang. Sekarang, aku juga tau bahwa tugas kita adalah mencoba melakukan sesuatu, ada kemungkinan kita akan berhasil.

Kalaupun gagal, jika kita terus berjalan, dan coba lagi, minimal pasti ada keberhasilan dalam hal lain buah dari apa yang kita lakukan hari ini. Jadi, anggap keberhasilan sebagai bonus saja. Seperti ketika mendaki gunung, melihat jauh ke puncak bikin kita capek, tapi satu per satu langkah maju akan membuat kita sampai ke puncak.

Percayalah, yang namanya keberhasilan, baik direncanakan maupun tidak, itu luar biasa menyenangkan. Malah berdasarkan pengalamanku keberhasilan yang datang tiba-tiba lebih membahagiakan daripada yang sudah lama kita idam-idamkan.

Jadi, sekarang ini mantra untuk diriku setiap hari:

Aku tau aku bakal gagal.
Aku sadar bakal menemui penolakan.
Aku paham gagal itu rasanya ngga enak.
Tapi aku mau mencoba sebaik-baiknya.
Aku mau bertemu kegagalan demi kegagalan.


Lagipula, bukankah Tuhan menjanjikan bersama kesulitan ada (dua) kemudahan?

(94:5-6)

Komentar

Postingan Populer