Menunggu Generasi Berganti, Baru Bisa Membaik


Ceritanya, dua pekan lalu aku harus pulang ke Lampung. Nahwan, si anak bungsu yang masih kelas 2 MTs di Mu'allimin Jogja harus sekolah dari rumah karena pandemi corona. Nggak boleh tinggal di asrama dan benar-benar wajib pulang.

Aku pun dapat tugas mengantar. Memang benar-benar nemenin Nahwan aja, nggak ada niat pulang kampung dan liburan. Akhirnya aku stay sepekan di rumah, sambil memantau keadaan di Jogja. Lumayan lah, bisa tau bapak-ibu lagi membangun rumah di pinggir jalan, ibu udah mulai percaya diri menyetir mobil ke mana-mana, bapak yang baru sembuh, seisi rumah yang kena dampak stay at home karena corona, sampai ada flyover yang baru jadi.

Selain itu, aku juga dapat obrolan lumayan berbobot dari ibu. Sebenarnya celetukan aja sih, tapi lumayan teringat di kepala. Ibu bilang ke aku kira-kira begini, "kayaknya budaya hal di kehidupan orang Indonesia baru bisa membaik di generasimu besok deh." Ada beberapa "budaya" yang dimaksud Ibu dalam celetukan itu

Gender

Paling dekat saat celeteukan Ibu saat itu adalah tentang gender. Ibu membahas bias gender dan perlakuan patriarkis yang khas kita banget. Contohnya aja membatasi anak perempuan buat keluar malam, juga peran-peran lain di kehidupan yang masih laki-laki banget.

Obrolan ini datang nggak lama setelah Ibu sambat kalo ada teman di organisasi, bapak-bapak, bisa dibilang cukup sepuh, melakukan poligami. Ketika dicecar orang-orang beliau bilang bahwa ini takdir. Padahal kan, yang namanya poligami mesti merugikan perempuan banget, juga nggak bisa gitu aja dibilang "takdir".

Selain tentang poligami, keadilan/kesetaraan gender memang saat ini baru masa transisi. Malah kalau generasinya Ibu dulu bisa dibilang masih terbelakang soal keadilan/kesetaraan gender. Contohnya nih, Ibu dan adik-adiknya yang sebagian banyak perempuan itu minimal bertitel sarjana. Dulu, ada perempuan bisa sarjana itu udah wah banget. Satu kampung ada sarjana saja sudah hebat. Dalam satu kecamatan pun belum banyak perempuan yang berpendidikan tinggi.

Nah keadaan saat ini jauh lebih baik. Walaupun masih banyak kekurangan di mana-mana, tapi seiring berjalannya waktu ada harapan untuk budaya-budaya nggak baik terkait gender bisa selesai di generasi kita besok.

Teknologi

Ini nggak kalah asik. Waktu aku pulang sejenak dua pekan lalu, baik Ibu maupun Bapak sedang mencoba cara baru mengajar, dengan belajar dari rumah online.

Pas banget kemarin itu bapak lagi lumayan repot belajar bikin form kuis daring, juga belajar Google Classroom. Kata bapak karena mahasiswanya pusing kalo diminta memakai fasilitas e-Learning yang disediakan kampus. Bapak belajar dari nol banget karena nggak pernah memakai sama sekali sebelumnya. Tuh bagi kalian yang merasa repot kuliah daring, dosen kalian juga berat kok perjuangannya, jadi sama-sama memaklumi lah yaa :))

Urusan teknologi ini juga bikin aku mengingat-ingat masa lalu. Ketika Ibu harus belasan kali, bahkan puluhan kali diajari untuk sekadar membuka file Microsoft Word, menyimpan, dan mencari. Pokoknya yang dasar banget.

Sempat membangunkan malam-malam, ngomel-ngomel ke aku karena ngajarinnya nggak benar dan nggak sabar. Setelah berkali-kali belajr-lupa lagi-belajar lagi-lupa lagi baru deh Ibu bisa.  Itu pun pada saat itu Ibu berhasil belajar karena menggarap tesis. Coba kalau enggak, nggak tahu deh sampai kapan Ibu kesulitan untuk sekadar mengakses Microsoft Word.

Generasi kita besok yang lebih menguasai teknologi diharapkan bisa memanfaatkan lebih jauh. Nggak cuma jadi user--yang generasi Ibuku aja kesusahan banget--melainkan juga bisa jadi kreator teknologi di masa mendatang.

Literasi

Nah yang satu ini berakar dari budaya baca yang minim, tapi juga nggak terbatas dalam bahasan baca-tulis. Budaya literasi yang minim bahkan ada hubungannya sama pandemi. Ibu cerita kalau dulu dapat cerita dari para sesepuh tentang pagebluk, yang sekarang juga lagi ramai dibahas.

Orang-orang dulu, itu pernah digegerkan dengan kejadian yang bikin orang mati tiba-tiba. Istilah saat itu isuk loro, sore mati (pagi sakit, sore mati). Nggak jarang penyakit-penyakit itu dikaitkan dengan hal mistis, sampe jadi kepercayaan yang tersebar lewat jalur getok tular (dari mulut ke mulut). Padahal ya, sebenenarnya mati karena penyakit. Bisa dikaitkan dengan wabah pes, kolera, ataupun flu spanyol yang memang pernah melanda Indonesia. Orang-orang dulu saja yang belum tahu sehingga mengaitkan dengan hal-hal mistis.

Nah, kalau sekarang, yang masih banyak banget tersisa adalah budaya getok tular. Kalau ada informasi gampaang banget tersebar, terkhusus hoax dari grup keluarga besar, kompleks, sampai pengajian/organisasi. Apalagi yang provokatif dan mencengangkan!!!

Literasi untuk menangkal hoax ini sekarang mulai dipahami sih. Ibuku misalnya, sering banget tiba-tiba nge-forward pesan yang dicurigai sebagai hoax untuk menanyakan ke aku tentang kebenarannya. Walaupun lumayan bikin repot, apa yang dilakukan Ibuku ini mending banget. Banyak ibu-bapak-om-tante di luar sana yang nggak bisa dibilangin kalau broadcast-broadcast itu hoax. Malah generasi kita yang memberikan info valid bisa disalah-salahin di grup keluarga.

Ini yang diharapkan seiring berjalannya waktu bisa mendingan. Jalannya lewat meningkatkan budaya baca dan menjurus ke cek fakta. Lagi-lagi generasi kita yang lebih banyak akses ke buku, juga bacaan-bacaan bermutu dan minim propaganda, jadi harapan mengakhiri mudahnya informasi menyesatkan tersebar + meresahkan masyarakat.


Tiga hal di atas jadi harapan Ibu--yang sadar bahwa generasinya minim pemahaman tentang tiga budaya itu--untuk bisa selesai di generasi kita besok. Aku pun mengamini, kita punya harapan. Semoga kita bisa belajar banyak untuk membawa perubahan baik, sekurangnya di tiga budaya yang jadi kegelisahan di atas.

Buat generasiku, generasi kita, yok bisa yok :)

Komentar

  1. Hahaha... Gue inget bangeeet jaman lu malem malem bolak balik dibangunin ibu lu buat belajar word. Secara, ibu lu kan kalong....

    BalasHapus
  2. Smngattt buat generasiiiku dan generasimuuu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer