Hantu yang Aku Tau


Karena mungkin terlalu tenggelam dengan urusan yang bikin pusing, juga asik bercerita di Tumblr, aku sampai baru sadar bahwa di 2021 ini baru ada satu tulisan mengudara di sini. Maka anggap saja tulisan ini buat menutup tahun, sekaligus mengingatkan lagi bahwa aku masih punya web yang juga perlu diisi. Kali ini aku coba cerita tentang hantu, yang ngga bermuatan mistis.

Sampai sekarang, seorang Nabhan masih percaya-nggak percaya dengan hantu. Ketika ada orang bercerita tentang hantu, aku ikut tertarik, tapi masih ngga tau apakah mau percaya atau engga. Tapi, ada "hantu" yang aku percaya dan mengalami.

Sebutlah hantu itu dengan pengalaman buruk, atau pengalaman bodoh yang terlalu bodoh. Sesekali bikin kepikiran, dan sering bikin aku menyalahkan diri sendiri.

Satu contoh pertama adalah saat aku jadi Ketua Panitia Milad SKM, sebuah agenda internal terbesar dulu waktu di Muallimin. Harus diakui saat itu banyak sekali kesalahanku. Mulai dari terlalu egois, miskomunikasi, sampai memang betulan bingung karena itu pengalaman pertamaku memimpin kepanitiaan besar.

Alhasil, banyak kesalahan di sana-sini, secara pribadi maupun kolektif. Walaupun aku mulai bisa mengambil hikmahnya, karena bisa dibilang momen Milad SKM saat itu jadi titik awal aku mulai memahami diri sendiri juga hubungan dengan orang-orang di sekitarku.

Contoh yang lain, masih di Muallimin juga. Salah satu mimpi buruk sebagai anak pondok, khususnya Muallimin, adalah rawan dikeluarkan dengan berbagai sebab. Salah satunya pelanggaran. Sebagai gambaran, angkatanku saat masuk total ada 270 anak, tapi yang lulus hanya 120. Kurang dari 50% yang bisa bertahan hingga kelas 12 & lulus.

Sebagian kasusnya terjadi pada kawan-kawan terdekat. Satu asrama, satu kamar, dan satu kelas. Saat mereka akan dikeluarkan, aku salah satu yang paling getol untuk coba membantu, tapi kemudian sia-sia. Sekarang, kalau teringat masa-masa itu, sisa penyesalan masih ada.

"Hantu" selanjutnya yang bisa aku ceritakan adalah saat kuliah di semester 3. Kebetulan saat itu aku harus ke Kalimantan beberapa hari untuk sebuah acara. Walhasil, kuliah termasuk praktikum harus kutinggalkan.

Aku kira bakal mulus-mulus saja berbekal surat permohonan ijin dengan kop IPM. Ternyata aku salah besar. Saat memohon ijin untuk inhal praktikum, dosen yang kukira cukup bersahabat ternyata marah besar, beliau menyilang besar surat permohonan ijin sembari melempar ancaman aku harus mengulang praktikum tahun depan jika melakukan lagi hal semacam itu.

Belum lagi, saat itu ada satu kejadian kecil yang ternyata besar pengaruhnya. Saat aku belum cukup peka memahami keadaan, dan belum cukup detail dalam memperhatikan kondisi di sekitarku. Meski begitu, bagian-bagian buruknya sudah cukup aku tangani dan kebaikannya ternyata jauh lebih banyak. Jadi, bisa dianggap impas, lah.

Cerita selanjutnya, Nabila. Nabila Azzahra Pamuji, kader PD IPM Jogja yang wafat tahun 2018 silam. Nabila wafat dalam perjalanan dari rumah sakit menemani adiknya menuju salah satu sekolah untuk pendampingan Fortasi.

Meski ngga ada hubungannya langsung denganku, tapi beberapa keluhan pernah dilontarkan Nabila beberapa waktu sebelum kecelakaan—yang sepertinya terkait dengan kejadian kecelakaan. Beberapa saran sudah aku berikan, tapi sayangnya saran-saran itu kurang efektif atau mungkin kurang tepat.

Sempat juga aku ingin ngobrol dengan keluarga, juga dengan sahabat terdekatnya di kampus. Namun, sampai sekarang belum kesampaian. Jika ada keluarga/sahabat almarhumah Nabila di kampus yang mungkin membaca, semoga perjumpaan bisa segera diagendakan.

Aku juga cukup merasa bersalah karena bisa dibilang kami cukup akrab. Kenal saat sekelompok di TM2, tau proses naik-turun di IPM, cukup sering ngobrol, hingga setelah dengar kabar Nabila kecelakaan aku langsung menuju lokasi kejadian dan harap-harap cemas saat menunggu di rumah sakit. Ketika kabar wafatnya Nabila datang, seketika itu pula aku yang sangat ngga peka soal perasaan, bisa merasakan duka dan sedih begitu mendalam.

Empat cerita itu baru sebagian. Aku bisa ceritakan keempatnya, karena aku sudah cukup berdamai. Di luar empat "hantu" tersebut, masih ada banyak "hantu-hantu" lain yang hanya bisa kupendam. Atau kalaupun kubagi, paling hanya kuceritakan pada orang-orang tertentu saja—dan tentu jumlahnya sangat sedikit. Karena, menceritakan "hantu-hantu" itu justru bikin aku merasa bersalah, bodoh, dan menyalahkan diri sendiri.

Jadi, walaupun aku percaya-ngga percaya dengan hantu dan berbagai varian makhluk halus, nyatanya tetap ada "hantu" yang kerap terbayang di saat-saat tertentu dan muncul dalam bentuk rasa bersalah yang sangat ngga nyaman. Tapi, ya begitulah hidup kadang-kadang, ada banyak hal yang ngga bisa kita kontrol dan hanya bisa kita jalani aja.

Kalau kamu, gimana? Apakah punya "hantu" versimu sendiri?

Komentar

Postingan Populer